SEDERHANA DLM SUNNAH LEBIH BAIK DARI PADA SEMANGAT TAPI SESAT

Sabtu, 13 Maret 2021

ADAB ISLAM KEPADA TETANGGA

ADAB ISLAM KEPADA TETANGGA

Islam mengajarkan kepada umatnya untuk memiliki adab kepada tetangga, sehingga tumbuh rasa saling menghormati dan tercipta kerukunan di antara tetangga.

Berikut adab kepada tetangga dalam ajaran Islam :

✺ Berbuat Baik Kepada Tetangga

Ajaran Islam memerintahkan umatnya untuk selalu berbuat baik, di mana pun dan kepada siapa pun, terlebih lagi kepada tetangga, karena tetangga adalah orang-orang yang dekat dengan kita dalam sebuah wilayah.

Allah Taala berfirman,

وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ

"Dan (berbuat baiklah kepada) tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh". (Qs. An-Nisa: 36).

Apa yang dimaksud dengan tetangga dekat dan tetangga jauh ?

Ibnu Abbas mengatakan, yang dimaksud dengan "tetangga yang dekat" (ذِي الْقُرْبَى), ialah tetangga yang antara kamu dan dia ada hubungan kerabat, sedangkan tetangga jauh (جَارِ الْجُنُب), ialah tetangga yang antara kamu dan dia tidak ada hubungan kerabat. (Tafsir Ibnu Katsir, Qs. An-Nisa: 36).

Abu Ishaq meriwayatkan dari Nauf Al-Bakkali sehubungan dengan makna Firman-Nya, "Dan (berbuat baiklah kepada) tetangga yang dekat". Yakni, "tetangga yang muslim". dan (berbuat baiklah kepada) "tetangga yang jauh". Yakni, "tetangga yang beragama Yahudi dan Nasrani". (Tafsir Ibnu Katsir, Qs. An-Nisa: 36).

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

وخَيْرُ الجِيرانِ عِنْدَ اللهِ خَيْرُهُمْ لِجَارِهِ

"Dan sebaik-baik tetangga di sisi Allah ialah orang yang paling baik kepada tetangganya".

Perbuatan baik apa saja yang harus dilakukan kepada tetangga ?

Perbuatan baik yang bisa dilakukan kepada tetangga di antaranya :

(1) Memuliakannya

Orang yang memiliki tetangga, hendaknya memuliakan tetangganya. Orang yang tidak memuliakan tetangganya bahkan termasuk orang yang tidak beriman.

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاْليَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah ia memuliakan tetangganya". (Hr. Bukhari-Muslim).

(2) Memberi ucapan salam apabila bertemu tetangga

Memberi ucapan salam ketika bertemu tetangga akan menumbuhkan rasa saling mencintai dan bisa menghilangkan rasa permusuhan.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَوَلاَ أَدُلُّكُمْ عَلَى شَىْءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوهُ تَحَابَبْتُمْ أَفْشُوا السَّلاَمَ بَيْنَكُمْ

"Maukah aku tunjukkan kepada kalian suatu amalan yang jika kalian melakukannya, kalian akan saling mencintai ?. Sebarkanlah salam di antara kalian”. (Hr. Muslim, no. 54).

"Mengucapkan salam merupakan sebab terwujudnya kesatuan hati dan rasa cinta diantara sesama muslim sebagaimana kenyataan yang kita temukan". (Huquq Da’at Ilaihal Fithroh, 46).

(3) Bermuka manis dan tersenyum apabila bertemu tetangga

Bermuka manis kepada tetangga bisa menjadi sebab terciptanya hubungan yang harmonis antar tetangga, maka jangan meremehkan perbuatan baik ini.

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

لَا تَحْقِرَنَّ مِنْ اَلْمَعْرُوفِ شَيْئًا، وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلْقٍ

“Janganlah engkau memandang remeh suatu kebaikan sedikitu pun juga walaupun engkau hanya bertemu saudaramu dengan bermuka manis”. (Hr. Muslim).

Begitu pula tersenyum apabila bertemu tetangga, senyuman kepada tetangga bisa menghilangkan permusuhan dan mempererat tali persaudaraan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

تَبَسُّمُكَ فِى وَجْهِ أَخِيكَ لَكَ صَدَقَةٌ

“Senyummu di hadapan saudaramu (sesama muslim) adalah (bernilai) sedekah bagimu“. (Hr. at-Tirmidzi, Ibnu Hibban, dan lainnya).

(4) Menolong tetangga yang mendapatkan kesulitan

Besar pahalanya bagi orang yang mau menolong kesulitan sesama saudaranya. Terlebih lagi orang yang mendapatkan kesulitan itu tetangga kita.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ نَـفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُـرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا، نَـفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُـرْبَةً مِنْ كُـرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ

“Barangsiapa yang melapangkan satu kesusahan dunia dari seorang Mukmin, maka Allah melapangkan darinya satu kesusahan di hari Kiamat. (Hr. Muslim, Ahmad dan lainnya).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

وَمَنْ يَسَّرَ عَلَـى مُـعْسِرٍ، يَسَّـرَ اللهُ عَلَيْهِ فِـي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ

"Barangsiapa memudahkan (urusan) orang yang kesulitan, maka Allah Azza wa Jalla memudahkan baginya (dari kesulitan) di dunia dan akhirat". (Hr. Muslim, Ahmad dan lainnya).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

وَاللهُ فِـي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ

"Allah senantiasa menolong seorang hamba selama hamba tersebut menolong saudaranya (sesama muslim)". (Hr. Muslim, Ahmad dan lainnya).

Nabi shollallohu 'alaihi wasallam juga bersabda,

وَمَنْ كَانَ فِـيْ حَاجَةِ أَخِيْهِ، كَانَ اللهُ فِيْ حَاجَتِهِ

"Barangsiapa membantu kebutuhan saudaranya (sesama muslim), maka Allah Azza wa Jalla senantiasa akan menolongnya". (Hr. Bukhari, Muslim, dan lainnya).

Nabi shollallohu 'alaihi wasallam juga bersabda,

وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًـا، سَتَرَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

"Barangsiapa melapangkan kesulitan orang Muslim, maka Allah akan melapangkan baginya dari salah satu kesempitan di hari Kiamat". (Hr. Bukhari, Muslim, dan lainnya).

(5) Memberi hadiah

Memberi hadiah kepada tetangga juga bisa menumbuhkan perasaan saling mencintai dan menghilangkan perasaan hasad.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وتَهَادَوْا تَحَابُّوا، وَتَذْهَبُ الشَحْنَاءُ

“Hendaknya kalian saling memberi hadiah, maka kalian akan saling mencintai dan akan menghilangkan rasa benci diantara kalian”. (Hr. Malik dalam Al-Muwatha’, 2/ 908/ 16).

(6) Memberi makanan kepada tetangga

Islam memerintahkan umatnya untuk saling mencintai dan saling menyayangi, di antaranya dengan berbagi makanan.

Abu Dzarr radhiyallahu 'anhu berkata, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berpesan kepadaku,

إِذَا طَبَخْتَ مَرَقًا فَأَكْثِرْ مَاءَهُ ثُمَّ انْظُرْ أَهْلَ بَيْتٍ مِنْ جِيرَانِكَ فَأَصِبْهُمْ مِنْهَا بِمَعْرُوفٍ

“Jika engkau memasak sayur, perbanyaklah kuahnya. Lalu lihatlah keluarga tetanggamu, berikanlah sebagiannya kepada mereka dengan cara yang baik”. (Hr. Muslim 4766).

● Utamakan tetangga yang dekat

Memberi kepada tetangga berupa barang ataupun makanan, maka utamakan tetangga yang paling dekat

Aisyah bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam,

"إنَّ لِي جَارَيْنِ، فَإِلَى أيِّهِمَا أُهْدِي" ؟. قَالَ: "إِلَى أقْرَبِهِمَا مِنْك بَابًا"

"Sesungguhnya aku mempunyai dua orang tetangga. maka kepada siapakah aku akan mengirimkan hadiah (kiriman) ini ?". Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Kepada tetangga yang pintunya lebih dekat kepadamu". (Hr. Bukhari).

(7) Toleransi kepada tetangga

Kurang toleransi dengan tetangga bisa menyebabkan hubungan yang kurang baik, maka Islam memberikan tuntunan kepada umatnya supaya memiliki sikap toleran kepada tetangga.

Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا يَمْنَعْ أَحَدُكُمْ جَارَهُ أَنْ يَغْرِزَ خَشَبَةً فِي جِدَارِهِ

"Janganlah seorang diantara kalian melarang tetangganya untuk meletakkan kayu di tembok rumahnya". (Hr. Bukhari, no: 2283, dan Muslim, no: 3019).

Syaikh Salim bin Ied Al Hilali membawakan beberapa pelajaran yang berkaitan dengan hak tetangga yaitu, yang pertama : Saling membantu dan bersikap toleran sesama tetangga merupakan hak-hak tetangga (yang wajib dipenuhi) sekaligus merupakan wujud kekokohan bangunan masyarakat Islam. Yang kedua : Jika seseorang memiliki rumah, kemudian ia memiliki tetangga dan tetangganya itu ingin menyandarkan sebatang kayu di temboknya tersebut, maka boleh hukumnya bagi si tetangga untuk meletakkannya dengan izin atau tanpa izin pemilik rumah, dengan syarat hal tersebut tidak menimbulkan mudharat bagi si pemilik rumah". (Bahjatun Nazhirin I/387).

(8) Menutup 'aib tetangga

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan umatnya untuk menutup 'aib saudaranya.

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

وَمَنْ سَتَرَ عَلَى مُسْلِمٍ فِي الدُّنْيَا سَتَرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ

“Dan barangsiapa yang menutupi ('aib) seorang muslim sewaktu di dunia, maka Allah akan menutup ('aibnya) di dunia dan akhirat”. (Hr. Tirmidzi).

(9) Menjenguk tetangga apabila tetangga sakit

Mengunjungi orang sakit merupakan perbuatan yang mulia, dan terdapat keutamaan yang agung, serta pahala yang sangat besar, dan merupakan salah satu hak setiap muslim terhadap muslim lainnya, terlebih lagi apabila orang sakit tersebut tetangga kita.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا عَادَ الرَّجُلُ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ مَشَى فِيْ خِرَافَةِ الْجَنَّةِ حَتَّى يَجْلِسَ فَإِذَا جَلَسَ غَمَرَتْهُ الرَّحْمَةُ، فَإِنْ كَانَ غُدْوَةً صَلَّى عَلَيْهِ سَبْعُوْنَ أَلْفَ مَلَكٍ حَتَّى يُمْسِيَ، وَإِنْ كَانَ مَسَاءً صَلَّى عَلَيْهِ سَبْعُوْنَ أَلْفَ مَلَكٍ حَتَّى يُصْبِحَ

“Apabila seseorang menjenguk saudaranya yang muslim (yang sedang sakit), maka (seakan-akan) dia berjalan sambil memetik buah-buahan Surga sehingga dia duduk. Apabila sudah duduk, maka diturunkan kepadanya rahmat dengan deras. Apabila menjenguknya di pagi hari, maka tujuh puluh ribu Malaikat mendo’akannya agar mendapat rahmat hingga waktu sore tiba. Apabila menjenguknya disore hari, maka tujuh puluh ribu Malaikat mendo’akannya agar diberi rahmat hingga waktu pagi tiba”. (Hr. At-Tirmidzi).

Menjenguk tetangga yang sakit, selain mendapatkan pahala yang besar, juga bisa menumbuhkan rasa kasih sayang di antara sesama tetangga.

(10) Memenuhi undangan tetangga apabila diundang

Apabila mendapatkan undangan dari tetangga, seperti undangan walimah nikah, maka wajib untuk datang memenuhi undangan tersebut. Selain untuk menghormati tetangga kita yang telah mengundang, juga untuk memupuk ikatan persaudaraan di antara sesama tetangga.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْوَلِيْمَةِ فَلْيَأْتِهَا

“Apabila salah seorang diantara kalian diundang ke walimah, maka hendaknya ia menghadirinya”. (Shahiih Muslim, II/1054, no. 1431, Sunan Abi Dawud, X/203, no. 3719).

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

وَمَنْ لَمْ يُجِبِ الدَّعْوَةَ فَقَدْ عَصَى اللهَ وَرَسُولَهُ

“Dan barangsiapa tidak memenuhi undangan tersebut, ia telah durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya”. (Shahiih al-Bukhari, IX/240, no. 5173, Shahiih Muslim, II/1052, no. 1429, Sunan Abi Dawud, X/202, no. 3718).

Memenuhi undangan walimahan (resepsi pernikahan), mayoritas ulama berpendapat hukumnya wajib dipenuhi. Sedangkan undangan selain walimahan hanya dianjurkan (tidak wajib) untuk dipenuhi. (Lihat Syarh Riyadhus Sholihin, Syaikh Ibnu Utsaimin dan Tawdihul Ahkam, Syaikh Ali Basam).

Catatan :

Tidak semua undangan wajib dipenuhi, karena ada juga undangan yang tidak boleh dihadiri.

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di (1307 H/1886 M) rahimahullah  menyebutkan, “Undangan itu ada tiga macam : Yang wajib dihadiri adalah undangan pernikahan secara khusus ketika memenuhi syarat-syaratnya (yaitu tidak ada kemungkaran di dalamnya). Yang dilarang untuk dihadiri yaitu undangan selamatan kematian (ma’tam) yang dilakukan oleh keluarga mayit dengan mengundang banyak orang. Perbuatan tersebut tidak disukai, menghadirinya pun demikian. Undangan selain itu disunnahkan untuk dihadiri selama tidak ada udzur. Wallahu a’lam”. (Al Qowa’id wal Ushul Al Jaami’ah wal Furuq wat Taqosim Al Badi’ah An Nafi’ah, hal. 168).

Itulah di antara perbuatan baik yang harus dilakukan kepada tetangga.

Adab selanjutnya yang harus dilakukan kepada tetangga adalah :

✺ Tidak Berbuat Buruk Kepada Tetangga

Perbuatan buruk apa saja yang tidak boleh dilakukan kepada tetangga ?

Perbuatan buruk yang tidak boleh dilakukan kepada tetangga di antaranya :

(1) Tidak boleh menggunjing tetangga dan mencari-cari keburukannya

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا تَغْتَابُوْا الْـمُسْلِمِيْنَ، وَلَا تَتَّبِعُوْا عَوْرَاتِهِمْ؛ فَإنَّهُ مَنِ اتَّبَعَ عَوْرَاتِهِمْ يَتَّبِعِ اللهُ عَوْرَتَهُ، وَمَنْ يَتَّبِعِ اللهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ فِـيْ بَيْتِهِ

"Janganlah kalian menggunjing kaum Muslimin dan jangan pula mencari keburukan-keburukan mereka. Karena barangsiapa mencari keburukan-keburukan mereka (kaum muslimin), maka Allah akan mencari-cari keburukannya dan barangsiapa keburukannya dicari-cari oleh Allah, maka Allah akan mempermalukannya (meskipun ia berada) di rumah".

(2) Tidak boleh berprasangka buruk kepada tetangga

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا

"Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain". (Qs. al Hujurat: 12).

(3) Tidak boleh meremehkan pemberian tetangga

Meremehkan pemberian  tetangga merupakan perbuatan tercela.

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

يَا نِسَاءَ المُسْلِمَاتِ لا تَحْقِرَنَّ جَارَةٌ لِجَارَتِهَا وَلَوْ فِرْسَنَ شَاةٍ

"Wahai para wanita muslimah, janganlah ada seorang tetangga yang meremehkan pemberian tetangganya, walaupun sekedar kuah kambing". (Hr. Al-Bukhari dan Muslim).

(4) Tidak boleh mengganggu tetangga

Hidup bertetangga harus bisa menjalin kerukunan di antara sesama tetangga yang lain. Tidak termasuk orang yang beriman yang membuat kegaduhan atau gangguan kepada tetangga yang lainnya.

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

وَاللَّهِ لَا يُؤْمِنُ، وَاللَّهِ لَا يُؤْمِنُ، وَاللَّهِ لَا يُؤْمِنُ. قَالُوا: وَمَا ذَاكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟. قَالَ: الْجَارُ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ

“Demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman. Ditanya, "Siapa ya Rasulullah ?". Nabi menjawab, “Ialah orang yang tidak aman tetangganya dari gangguannya”. (Hr. Bukhari, dan Muslim).

Bahkan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengancam orang yang mengganggu tetangganya tidak akan masuk Surga.

Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ لاَ يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ

“Seorang yang senantiasa mengganggu tetangganya niscaya tidak akan masuk Surga”. (Shahih, lihat As Silsilah Ash Shahihah, 549, Muslim, Kitabul Iman, hal. 73).

Mengganggu tetangga dosanya berlipat-lipat.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

لأنْ يَزني الرَّجُلُ بِعَشْرِ نِسْوَة، أَيْسَرُ عَلَيْهِ مِنْ أَن يزنيَ بامرَأَةِ جَارِهِ

"Sesungguhnya bila seseorang lelaki berbuat zina dengan sepuluh orang wanita, hal ini lebih ringan baginya daripada ia berbuat zina dengan istri tetangganya". (Hr. Ahmad).

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

لَأَنْ يَسْرِقَ الرَّجُلُ مِن عَشْرَةِ أَبْيَاتٍ، أَيْسَرُ عَلَيْهِ مِنْ أَنْ يسرِقَ مِنْ جَارِهِ

"Sesungguhnya bila seseorang lelaki mencuri dari sepuluh rumah, hal ini lebih ringan baginya daripada ia mencuri dari rumah tetangganya". (Hr. Ahmad).

(5) Tidak boleh angkuh dan sombong kepada tetangga

Angkuh dan sombong kepada tetangga bisa menjadi sebab timbulnya permusuhan, dan hancurnya kerukunan di antara tetangga. Dan sifat sombong dibenci oleh Allah.

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْتَكْبِرِينَ

“Sesungguhnya Dia (Allah) tidak menyukai orang-orang yang sombong”. (Qs. An Nahl: 23).

(6) Tidak boleh hasad kepada tetangga

Sifat hasad (dengki) bisa mendatangkan perasaan benci kepada orang lain. Akan sangat buruk apabila sesama tetangga saling hasad, padahal seharusnya di antara tetangga bisa saling mencintai.

Apa itu hasad ?

Ibnu Taimiyah berkata,

الْحَسَدَ هُوَ الْبُغْضُ وَالْكَرَاهَةُ لِمَا يَرَاهُ مِنْ حُسْنِ حَالِ الْمَحْسُودِ

“Hasad adalah membenci dan tidak suka terhadap keadaan baik yang ada pada orang yang di hasadi”. (Majmu’ Al Fatawa, 10: 111).

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang umatnya memiliki sifat hasad.

Rasullullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تَقَاطَعُوْا، وَلاَ تَدَابَرُوْا، وَلاَ تَبَا غَضُوْا، وَلاَ تَحَا سَدُوْا، وَكُوْنُوْا إِخْوَانًا كَمَا أَمَرَ كُمُ اللَّهُ

"Janganlah kalian memutuskan tali persaudaraan, saling berpaling ketika bertemu dan saling membenci serta saling dengki. Jadilah kalian bersaudara sebagaimana yang telah diperintahkan oleh Allah". (Hr.Muslim).

(7) Tidak boleh suka pamer kepada tetangga

Tidak baik orang yang suka pamer kepada tetangganya, karena bisa menyakiti hatinya, bisa menimbulkan perasaan iri, hasad, dengki dan lainnya.

Sifat suka pamer bukan sifat dari orang-orang shaleh, akan tetapi sebaliknya, sifat suka pamer adalah sifat dari manusia yang dilaknat Allah, yaitu Qorun.

Sebagaimana dikisahkan dalam al-Qur'an,

فَخَرَجَ عَلَى قَوْمِهِ فِي زِينَتِهِ

"Maka keluarlah Qorun kepada kaumnya dalam kemegahannya". (Qs. Al-Qashash: 79).

Allah Subhanahu wa Ta'ala menceritakan bahwa Qorun pada suatu hari keluar memamerkan dirinya kepada kaumnya dengan segala kemewahan dan perhiasan yang dimilikinya, termasuk iringan kendaraannya, juga pakaiannya yang gemerlapan serta para pelayan dan para pembantu terdekatnya. (Tafsir Ibnu Katsir, Qs. Al-Qashash: 79).

Dan akhirnya Allah menurunkan adzabnya kepada Qorun.

Allah Ta'ala sebutkan dalam Firman-Nya,

فَخَسَفْنَا بِهِ وَبِدَارِهِ الأرْضَ

"Maka Kami benamkan Qorun beserta rumahnya ke dalam bumi". (Qs. Al-Qashash: 81).

(8) Tidak boleh membiarkan tetangga kelaparan

Jangan sampai hidup tinggal dalam sebuah lingkungan, tapi tidak mengetahui ada tetangganya yang tidak bisa memenuhi kebutuhannya makan. Dan tidak termasuk orang yang beriman, apabila ia membiarkan tetangganya kelaparan, sementara ia mengetahuinya.

Rasullullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

مَا آمَنَ بِي مَنْ بَاتَ شَبْعَانًا وَجَارُهُ جَائِعٌ إِلَى جَنْبِهِ وَهُوَ يَعْلَمُ بِهِ

“Tidak termasuk beriman kepadaku orang yang tidur dalam keadaan kenyang sedangkan tetangganya lapar, dan dia mengetahuinya”. (Hr. Thabrani dan Baihaqi).

Demikian adab Islam kepada tetangga, semoga bermanfa'at.

Alhamdulilllah wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala alihi wa shohbihi ajma’in.

By : Abu Meong

Kunjungi blog pribadi di : https://agussantosa39.wordpress.com/category/01-islam-dakwah-tauhid/01-islam-sudah-sempurna

Kunjungi juga Channel Youtube Abu Meong di, https://m.youtube.com/channel/UCY84L0V-doictq9w3VxQpaw/videos


Sumber tulisan :

https://almanhaj.or.id/3064-bertetangga-yang-sehat-dan-kiat-menghadapi-tetangga-jahat.html

https://rumaysho.com/1610-tetangga-yang-baik-dan-tetangga-yang-jelek-2.html

https://rumaysho.com/15422-21-faedah-tentang-hadiah.html

https://muslim.or.id/3421-keutamaan-tersenyum-di-hadapan-seorang-muslim.html

https://rumaysho.com/760-memenuhi-undangan-walimahan-2.html

https://muslim.or.id/22872-wajibkah-menghadiri-undangan-nikah.html

https://rumaysho.com/12383-hak-tetangga.html


______

Kamis, 11 Maret 2021

ADAB ISLAM DALAM BERDAGANG

ADAB ISLAM DALAM BERDAGANG

Seorang muslim yang memiliki usaha dagang, hendaknya tidak semata-mata mencari keuntungan yang besar, tapi ia juga semestinya mencari ridho Allah, sehingga perdagangannya mendapatkan berkah, dan aktifitas usahanya dinilai sebagai ibadah.

Berikut ini adab berdagang yang harus diperhatikan oleh seorang muslim dalam berdagang :

1. Pedagang hendaknya berlaku jujur

Kejujuran dalam berdagang adalah sikap yang terpuji, sehingga Allah Ta'ala pun memberikan banyak keutamaan kepada para pedagang yang jujur.

Berikut ini beberapa keutamaan pedagang yang jujur :

● Mendapatkan keberkahan

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِى بَيْعِهِمَا وَإِنْ كَذَبَا وَكَتَمَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا

"Orang yang berjual beli masing-masing memilki hak khiyar (membatalkan atau melanjutkan transaksi) selama keduanya belum berpisah. Jika keduanya jujur dan terbuka, maka keduanya akan mendapatkan keberkahan dalam jual beli, tapi jika keduanya berdusta dan tidak terbuka, maka keberkahan jual beli antara keduanya akan hilang”. (Hr. Muttafaqun ‘alaih).

● Ditempatkan bersama Nabi pada hari Kiamat

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

التَّاجِرُ الصَّدُوقُ الأَمِينُ مَعَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ

“Pedagang yang jujur dan terpercaya akan dibangkitkan bersama para Nabi, orang-orang shiddiq dan para syuhada”. (Hr. Tirmidzi, no.1209).

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Pedagang yang jujur serta terpercaya (tempatnya) bersama para Nabi, orang-orang yang jujur, dan orang-orang yang mati Syahid pada hari Kiamat”. (Hr. Bukhari, Hakim, Tirmidzi dan Ibnu Majjah).

● Mendapatkan naungan Allah di hari Kiamat

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Pedagang yang jujur di bawah Arsy pada hari kiamat”. (Hr. Al-Ashbihani).

● Dimudahkan masuk Surga

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Pedagang yang jujur tidak terhalang dari pintu-pintu Surga”. (Hr. Tirmidzi).

● Dilindungi Allah

Allah Ta’ala berfirman (dalam hadits Qudsi), “Aku yang ketiga (bersama) dua orang yang berserikat dalam usaha (dagang) selama yang seorang tidak berkhianat (curang) kepada yang lainnya. Apabila berlaku curang, maka Aku keluar dari mereka”. (Hr. Abu Dawud).

2. Benar dalam menimbang, menakar atau mengukur

Menjadi seorang pedagang harus benar dalam menimbang, menakar atau mengukur, dan ini diperintahkan oleh Allah.

Allah Ta'ala berfirman,

وَأَوْفُوا الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ

“Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil”. (Qs. Al An’aam: 152).

Allah Ta'ala berfirman,

وَأَوْفُوا الْكَيْلَ إِذَا كِلْتُمْ وَزِنُوا بِالْقِسْطَاسِ الْمُسْتَقِيمِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا

“Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan timbangan yang benar. ItuIah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (Qs. Al-lsraa: 35).

3. Tidak boleh merugikan pembeli dengan cara mengurangi timbangan atau takaran

Mengurangi timbangan atau takaran adalah perbuatan yang merugikan pembeli, dan Allah Ta'ala mengharamkan perbuatan yang merugikan orang lain.

Allah Ta'ala berfirman,

أَوۡفُواْ ٱلۡكَيۡلَ وَلَاتَكُونُواْ مِنَ ٱلۡمُخۡسِرِينَ (١٨١) وَزِنُواْ بِٱلۡقِسۡطَاسِ ٱلۡمُسۡتَقِيمِ (١٨٢) وَلَا تَبۡخَسُواْ ٱلنَّاسَ أَشۡيَآءَهُمۡ وَلَا تَعۡثَوۡاْ فِى ٱلۡأَرۡضِ مُفۡسِدِينَ (١٨٣)

“Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan, dan timbanglah dengan timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya, dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan”. (Qs. Asy-Syu’araa: 181-183).

Allah mengancam orang yang mengurangi timbangan atau takaran dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan yang lebih, dengan adzab yang pedih pada hari pembalasan (Kiamat).

Allah Ta'ala berfirman,

وَيْلٌ لِلْمُطَفِّفِينَ (١) الَّذِينَ إِذَا اكْتَالُوا عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُونَ (٢) وَإِذَا كَالُوهُمْ أَوْ وَزَنُوهُمْ يُخْسِرُونَ (٣) أَلَا يَظُنُّ أُولَئِكَ أَنَّهُمْ مَبْعُوثُونَ (٤) لِيَوْمٍ عَظِيمٍ (٥) يَوْمَ يَقُومُ النَّاسُ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ (٦)

“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain, mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidakkah orang-orang ini menyangka, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan Semesta Alam ini”. (Qs. Al-Muthaffifiin: 1-6).

4. Tidak berbohong dalam menjual dagangan

Berbohong dalam menjual dagangan dengan harapan ingin mendapatkan keuntungan yang besar, adalah perbuatan tercela. Dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan umatnya yang berdagang untuk tidak berbohong dalam menjual dagangannya.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Wahai para pedagang, hindarilah kebohongan”. (Hr. Thabrani).

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Seutama-utama usaha dari seseorang adalah usaha para pedagang yang bila berbicara tidak berbohong, bila dipercaya tidak berkhianat, bila berjanji tidak ingkar, bila membeli tidak menyesal, bila menjual tidak mengada-ada, bila mempunyai kewajiban tidak menundanya dan bila mempunyai hak tidak menyulitkan”. (Hr. Ahmad, Thabrani dan Hakim).

5. Tidak boleh menjual dagangan yang cacat tanpa memberitahukannya terlebih dahulu

Haram hukumnya menjual dagangan yang rusak atau cacat tanpa terlebih dahulu memberitahukannya kepada calon pembeli.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Sesama muslim adalah saudara. Oleh karena itu seseorang tidak boleh menjual barang yang ada cacatnya kepada saudaranya, namun ia tidak menjelaskan cacat tersebut”. (Hr. Ahmad, dan lbnu Majaah).

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda, “Tidak halal bagi seseorang menjual sesuatu barang dengan tidak menerangkan (cacat) yang ada padanya, dan tidak halal bagi orang yang tahu (cacat) itu, tapi tidak menerangkannya”. (Hr. Baihaqi).

6. Tidak boleh menimbun barang dagangan dengan tujuan mendapatkan keuntungan yang banyak

Menimbun dalam bahasa Arab adalah ihtikaru dari kata ihtikara-yahtakiru yang bermakna secara bahasa adalah al habsu (menahan) dan al jam’u (mengumpulkan).

Ibnu Mandhur berkata, “Yaitu menahan (tidak menjual) bahan makanan sambil menunggu (naiknya harga)”. (Lisanul Arab 44/208).

Adapun makna secara syar’i al-ihtikar adalah menahan suatu barang (tidak menjualnya), padahal dia tidak membutuhkannya, sedangkan manusia sangat membutuhkannya, lalu menjualnya di saat harga melambung tinggi sehingga menyulitkan manusia.

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengancam orang yang sengaja menimbun dagangan untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang melakukan penimbunan terhadap makanan kaum muslimin, Allah akan menimpanya dengan kerugian atau akan terkena penyakit”. (Hr. Ahmad).

Ancaman lainnya, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam sebutkan dan dalam beberapa sabdanya, yaitu :

● Akan mendapatkan laknat Allah

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Dan orang yang menimbun barang dagangannya akan dilaknat Allah”. (Hr. lbnu Majjah).

● Akan mendapatkan dosa

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menimbun makanan, maka ia adalah orang yang berdosa”. (Hr. Muslim dan Abu Daud).

● Allah tidak akan bertanggung jawab

Akibat lainnya adalah, pada hari Kiamat Allah tidak akan bertanggung jawab, sehingga ia harus bertanggung jawab sendiri akibat dari perbuatannya. Padahal pada hari Kiamat semua manusia butuh pengampunan Allah.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menimbun makanan selama 40 hari, maka ia akan lepas dari tanggung jawab Allah dan Allah pun akan cuci tangan dari perbuatannya”. (Hr. Ahmad).

7. Tidak boleh menipu supaya dagangannya cepat laku

Orang yang berdagang dengan tujuan ingin mendapatkan keuntungan yang besar dengan cara menipu, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengancamnya tidak akan diakui sebagai umatnya.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

من غشنا فليس منا

“Barangsiapa yang mencurangi kami, bukan dari pengikut kami”. (Hr. Muslim).

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda, “Siapa saja menipu, maka ia tidak termasuk golonganku”. (Hr. Bukhari).

8. Tidak boleh bersumpah palsu

Tidak jarang seorang pedagang bersumpah palsu demi mendapatkan keuntungan yang banyak, atau supaya dagangannya cepat habis. Padahal ancamannya sangat berat, yaitu mendapatkan adzab pada hari Kiamat.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Ada tiga kelompok orang yang kelak pada hari Kiamat Allah tidak akan berkata-kata, tidak akan melihat, tidak akan pula mensucikan mereka. Bagi mereka azab yang pedih. Abu Dzarr berkata, “Rasulullah mengulang-ulangi ucapannya itu, dan aku hertanya”, Siapakah mereka itu, ya Rasulullah ?”. Beliau menjawab, “Orang yang pakaiannya menyentuh tanah karena kesombongannya, orang yang menyiarkan pemberiannya (mempublikasikan kebaikannya), dan orang yang menjual dagangannya dengan sumpah palsu”. (Hr. Muslim).

Selain mendapatkan adzab yang berat pada hari Kiamat, juga perdagangannya tidak akan mendatangkan keberkahan.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda, “Sumpah dengan maksud melariskan barang dagangan adalah penghapus barokah”. (Hr. Bukhari dan Muslim).

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda, “Sumpah (janji) palsu menjadikan barang dagangan laris, (tetapi) menghapus keberkahan”. (Hr. Tirmidzi, Nasal dan Abu Dawud).

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda, “Berhati-hatilah, jangan kamu bersumpah dalam penjualan. Itu memang melariskan jualan tapi menghilangkan barokah (memusnahkan perdagangan)”. (Hr. Muslim).

9. Tidak boleh menjual barang yang sudah di beli

Haram menjual dagangan yang sudah dibeli, karena tergiur dengan keuntungan yang lebih besar.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah seseorang menjual suatu barang yang telah dibeli oleh orang lain”. (Hr. Bukhari).

10. Hendaknya murah hati dalam berdagang

Seorang pedagang hendaknya murah hati dalam menjual dagangannya. Tidak semata-mata mencari keuntungan yang banyak.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Allah berbelas kasih kepada orang yang murah hati ketika ia menjual, bila membeli dan atau ketika menuntut hak”. (Hr. Bukhari).

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda, “Allah memberkahi penjualan yang mudah, pembelian yang mudah, pembayaran yang mudah dan penagihan yang mudah”. (Hr. Aththahawi).

11. Banyak sedekah

Seorang pedagang hendaknya banyak bersedekah.

Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

يَا مَعْشَرَ التُّجَّارِ، إِنَّ الشَّيْطَانَ وَالإِثْمَ يَحْضُرَانِ البَيْعَ، فَشُوبُوا بَيْعَكُمْ بِالصَّدَقَةِ

“Wahai para pedagang, sesungguhnya setan dan dosa hadir dalam jual-beli. Maka iringilah jual-belimu dengan banyak bersedekah”. (Hr. Tirmidzi 1208).

Itulah adab Islam yang harus diperhatikan dalam berdagang, semoga bermanfaat, wallahu a'lam.

By: Abu Meong


Sumber tulisan : https://pengusahamuslim.com/210-etika-pengusaha-muslim.html


______________

KISAH ADAM DIUSIR DARI SURGA DAN DITURUNKAN KE BUMI

KISAH ADAM DIUSIR DARI SURGA DAN DITURUNKAN KE BUMI

Sebelum Adam dan Hawa diusir dari Surga, Allah Ta'ala memerintahkan Adam 'alaihis salam untuk tinggal di Surga. Sebagaimana Allah Ta'ala sebutkan dalam Firman-Nya,

وَيَا آدَمُ اسْكُنْ أَنتَ وَزَوْجُكَ الْجَنَّةَ

"Dan engkau wahai Adam, bertempat tinggallah kamu dan istrimu di taman (Surga)". (Qs. al-A'raf: 19).

Di dalam Surga Adam dan Hawa mendapatkan kesenangan, di antaranya mendapatkan berbagai macam makanan yang tidak perlu bersusah payah untuk mendapatkannya.

Allah Ta'ala berfirman,

فَكُلَا مِنْ حَيْثُ شِئْتُمَا

"Dan makanlah olehmu berdua dimana saja yang kamu sukai". (Qs. al-A'raf: 19).

● Adam dilarang mendekati pohon Khuldi

Akan tetapi Adam dan Hawa dilarang mendekati salah satu pohon, yaitu pohon Khuldi dan dilarang untuk mengambil dan memakan buahnya.

Allah Ta'ala berfirman,

وَلَا تَقْرَبَا هَـٰذِهِ الشَّجَرَةَ فَتَكُونَا مِنَ الظَّالِمِينَ

"Dan janganlah kamu berdua mendekati pohon ini". (Qs. al-A'raf: 19).

Ibnu Katsir mengatakan, Allah Subhanahu wa Ta'ala menceritakan bahwa Dia (Allah) membolehkan Adam 'alaihis salam dan Hawa (istrinya) bertempat tinggal di Surga dan memakan semua buah-buahan yang ada padanya, kecuali suatu pohon. (Tafsir, Ibnu Katsir, Qs. al-A'raf: 19-21).

Para Ulama berbeda pendapat tentang jenis buah yang dilarang untuk di makan itu. Sebagian mereka menyebutkan buah anggur, dan ada yang berpendapat buah zaitun, dan ada yang mengatakan gandum. (Lihat al-Bidayah wan Nihayah dan tafsir Ibnu Katsir).

Jenis buah yang terlarang bagi Adam 'alaihis sallam dan Hawa untuk mengkonsumsinya tidak diketahui jenisnya, walaupun sebagian Ulama menyebutkan beberapa jenis buah, tapi selama Allah tidak menjelaskannya maka memahami ayat tanpa menentukan jenisnya lebih baik. (Llihat, Tafsir Suratil Baqarah, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, hlm. 129).

● Iblis menggoda Adam

Akan tetapi iblis tidak henti-hentinya menggoda Adam untuk mendekatinya.

Allah Ta'ala sebutkan dalam Firman-Nya,

فَوَسْوَسَ لَهُمَا الشَّيْطَانُ لِيُبْدِيَ لَهُمَا مَا وُورِيَ عَنْهُمَا مِن سَوْآتِهِمَا

"Maka syaitan (iblis) membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk menampakkan kepada keduanya apa yang tertutup dari mereka yaitu auratnya". (Qs. al-A'raf: 20).

Ibnu Katsir mengatakan, maka saat itulah timbul rasa dengki dalam hati setan (iblis), lalu setan (iblis) berupaya melancarkan makar dan tipuan serta bisikannya, yang tujuannya untuk mencabut nikmat dan pakaian yang indah-indah dari keduanya (Adam dan Hawa). (Tafsir, Ibnu Katsir, Qs. al-A'raf, 19-21).

Allah Ta'ala berfirman,

وَقَالَ مَا نَهَاكُمَا رَبُّكُمَا عَنْ هَـٰذِهِ الشَّجَرَةِ إِلَّا أَن تَكُونَا مَلَكَيْنِ أَوْ تَكُونَا مِنَ الْخَالِدِينَ

"Dan syaitan (iblis) berkata, Rabb kamu tidak melarangmu dari mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi Malaikat atau tidak menjadi orang yang kekal”. (Qs. Al-A'raf: 20).

Kemudian Allah Ta'ala sebutkan dalam Firman-Nya,

وَقَاسَمَهُمَا إِنِّي لَكُمَا لَمِنَ النَّاصِحِينَ

"Dan dia bersumpah kepada keduanya, sesungguhnya aku adalah termasuk orang yang memberi nasehat kepada kamu berdua”. (Qs. Al-A'raf: 21).

Ibnu Katsir mengatakan, Qatadah mengatakan, bahwa iblis bersumpah dengan menyebut nama Allah, "Sesungguhnya aku dicipta­kan sebelum kalian berdua, aku lebih mengetahui daripada kalian berdua. Maka ikutilah aku, niscaya aku memberimu petunjuk". (Tafsir, Ibnu Katsir, Qs. al-A'raf: 21).

● Adam dan Hawa terbuka auratnya

Allah Ta'ala berfirman,

فَدَلَّاهُمَا بِغُرُورٍ

"Maka syaitan (iblis) membujuk keduanya dengan tipu daya". (Qs. al-A'raf: 22).

Allah Ta'ala berfirman,

فَلَمَّا ذَاقَا الشَّجَرَةَ بَدَتْ لَهُمَا سَوْآتُهُمَا

"Tatkala keduanya telah memakan buah kayu itu, nampaklah baginya aurat-auratnya", (Qs. al-A'raf: 22).

Ibnu Katsir mengatakan, Ubay ibnu Ka'b radhiyallahu 'anhu mengatakan, ketika ia (Adam) melakukan kesalahan tersebut, pada saat itu juga auratnya kelihatan (menjadi telanjang), padahal sebelum itu Adam belum pernah melihat auratnya sendiri. (Tafsir, Ibnu Katsir, Qs. al-A'raf: 22).

Ibnu Katsir juga mengatakan, Wahb ibnu Munabbih mengatakan sehubungan dengan kalimat yang mengatakan bahwa pakaian Adam dan Hawa dilucuti. Pakaian Adam dan Hawa yang menutupi aurat keduanya adalah nur (cahaya), sehingga Adam tidak dapat melihat aurat Hawa. Begitu pula sebaliknya, Hawa tidak dapat melihat aurat Adam. Tetapi ketika keduanya memakan buah terlarang itu, maka kelihatanlah aurat masing-masing oleh keduanya. (Tafsir Ibnu Katsir, Qs. Al-A'raf).

Allah Ta'ala berfirman,

وَطَفِقَا يَخْصِفَانِ عَلَيْهِمَا مِن وَرَقِ الْجَنَّةِ

"Dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun Surga". (Qs. al-A'raf: 22).

Ibnu Katsir mengatakan, Ibnu Abbas mengatakan, bahwa daun-daunan Surga itu adalah daun pohon tin. (Tafsir, Ibnu Katsir, Qs. al-A'raf: 22).

Ibnu Katsir juga mengatakan, Mujahid mengatakan, bahwa keduanya mulai memetik daun-daunan Surga, lalu menambalsulamnya sehingga menjadi pakaian. (Tafsir, Ibnu Katsir, Qs. al-A'raf: 22).

Ibnu Katsir juga mengatakan, Ibnu Abbas menceritakan, bahwa pohon yang Allah melarang Adam dan istrinya memakannya ialah pohon gandum. Setelah keduanya memakan buah pohon itu, maka dengan serta-merta kelihatanlah aurat keduanya. Tersebutlah bahwa yang digunakan oleh keduanya untuk menutupi aurat adalah kukunya masing-masing. Lalu keduanya segera memetik dedaunan Surga (yaitu daun pohon tin) dan menambalsulamkan satu sama lainnya untuk dijadikan penutup aurat keduanya. (Tafsir, Ibnu Katsir, Qs. al-A'raf).

Allah Ta'ala berfirman,

وَنَادَاهُمَا رَبُّهُمَا أَلَمْ أَنْهَكُمَا عَن تِلْكُمَا الشَّجَرَةِ وَأَقُل لَّكُمَا إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمَا عَدُوٌّ مُّبِينٌ

"Kemudian Rabb mereka menyeru mereka, bukankah Aku telah melarang kamu berdua dari pohon kayu itu, dan Aku katakan kepadamu, sesungguhnya syaitan (iblis) itu adalah musuh yang nyata bagi kalian berdua”. (Qs. Al-A'raf: 22).

Ibnu Katsir mengatakan, Ubay ibnu Ka'b radhiyallahu 'anhu mengatakan, Maka ia (Adam) lari ke dalam kebun Surga dan salah satu pohon Surga bergantung (melilit) pada kepalanya. Maka Adam berkata kepada pohon itu, "Lepaskanlah aku". Tetapi pohon itu berkata, "Sungguh aku tidak akan melepaskanmu". Kemudian Tuhan menyerunya, "Hai Adam, apakah engkau lari dari-Ku ?". Adam menjawab, "Wahai Tuhanku, sesungguhnya aku merasa malu kepada Engkau". (Tafsir, Ibnu Katsir, Qs. al-A'raf: 22).

Ibnu Katsir juga mengatakan, Allah berfirman, "Bukankah segala sesuatu yang Aku anugerahkan dan Aku perbolehkan untukmu dari buah-buahan Surga tidak cukup sehingga engkau berani memakan apa yang Aku haramkan kepadamu ?". Adam menjawab, "Tidak, wahai Tuhanku. Tetapi demi keagungan-Mu, aku tidak menduga bahwa ada seseorang yang berani bersumpah dengan menyebut nama Engkau secara dusta". Ibnu Abbas mengatakan bahwa hal tersebut adalah apa yang disebutkan di dalam firman-Nya, "Dan setan bersumpah kepada keduanya, Sesungguhnya saya termasuk orang yang memberi nasihat kepada kamu berdua”. (Al-A'raf: 21). (Tafsir Ibnu Katsir, Qs. Al-A'raf).

Ibnu Katsir juga mengatakan, Ibnu Abbas berkata, bahwa setelah Adam memakan buah pohon terlarang itu, maka dikatakan kepadanya, "Mengapa engkau memakan buah pohon yang telah Aku larang engkau memakannya ?". Adam menjawab, "Hawa lah yang menganjurkannya kepadaku". Allah berfirman, "Maka sekarang Aku akan menghukumnya (Hawa), bahwa tidak sekali-kali ia hamil melainkan dengan susah payah, dan tidak sekali-kali ia melahirkan anak melainkan dengan susah payah". Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa pada saat itu juga Hawa merintih. Maka dikatakan kepadanya, "Engkau dan anakmu akan merintih". (Tafsir Ibnu Katsir, Qs. Al-A'raf).

● Adam dan Hawa bertaubat

قَالَا رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنفُسَنَا وَإِن لَّمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

"Keduanya berkata, ya Rabb kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi”. (Qs. Al-A'raf: 23).

Ibnu Katsir mengatakan, Ad-Dahhak ibnu Muzahim berkata, Inilah kalimat-kalimat (doa-doa) yang diterima oleh Adam dari Tuhannya, yakni yang diajarkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada Adam (dalam tobatnya). (Tafsir Ibnu Katsir, Qs. Al-A'raf: 23).

Ibnu Katsir mengatakan, Qatadah yang menceritakan bahwa Adam berkata, "Wahai Tuhanku, bagaimanakah jika saya bertobat dan memohon ampun kepada Engkau ?". Allah berfirman, "Kalau demikian, niscaya Aku masukkan kamu ke dalam Surga". Tetapi iblis tidak meminta tobat, hanya meminta masa tangguh. Maka masing-masing pihak diberi oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala apa yang diminta masing-masing. (Tafsir Ibnu Katsir, Qs. Al-A'raf).

● Adam dan Hawa di usir dari Surga dan ditempatkan di Bumi

قَالَ اهْبِطُوا بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ

"Allah berfirman, turunlah kamu sekalian. Sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain". (Qs. al-A'raf: 24).

وَلَكُمْ فِي الْأَرْضِ مُسْتَقَرٌّ وَمَتَاعٌ إِلَىٰ حِينٍ

"Dan kamu mempunyai tempat kediaman dan kesenangan di muka Bumi sampai waktu yang telah ditentukan”. (Qs. Al-A'raf: 24).

قَالَ فِيهَا تَحْيَوْنَ وَفِيهَا تَمُوتُونَ وَمِنْهَا تُخْرَجُونَ

"Allah berfirman, di Bumi itu kamu hidup dan di Bumi itu kamu mati, dan dari Bumi itu (pula) kamu akan dibangkitkan". (Qs. Al-A'raf: 25).

● Di Bumi Allah sediakan sumber kehidupan

Allah Ta'ala berfirman,

وَلَقَدْ مَكَّنَّاكُمْ فِي الْأَرْضِ وَجَعَلْنَا لَكُمْ فِيهَا مَعَايِشَ ۗ قَلِيلًا مَّا تَشْكُرُونَ

"Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan Kami adakan bagimu di muka bumi itu (sumber) penghidupan. Amat sedikitlah kamu bersyukur. (Qs. Al-A'raf: 10).

Ibnu Abbas mengatakan, bahwa Adam lalu diturunkan dari Surga, padahal sebelum itu keduanya memakan buah Surga dengan berlimpah ruah dan tanpa susah payah. Kemudian ia diturunkan ke tempat (dunia) yang makanan dan minumannya tidak berlimpah, tetapi harus dengan susah payah. Maka mulailah Adam belajar membuat alat besi, dan diperintahkan untuk membajak, lalu Adam membajak dan menanam tanaman serta mengairinya. Ketika telah tiba masa panen, maka ia menuainya dan memilih biji-bijiannya serta menggilingnya menjadi tepung, lalu mem­buat adonan roti darinya, setelah itu baru ia memakannya. Tetapi Adam tidak dapat melakukan itu kecuali setelah Allah mengizinkannya. (Tafsir, Ibnu Katsir, Qs. al-A'raf: 22).


____

ADAB ISLAM DALAM BUANG HAJAT

ADAB ISLAM DALAM BUANG HAJAT

Buang hajat sebagaimana aktifitas lainnya harus memperhatikan adab-adabnya, sehingga mendatangkan kebaikan dan tidak menimbulkan gangguan bagi orang lain.

Berikut adab buang hajat dalam Islam :

1. Tidak boleh buang hajat di tempat-tempat terlarang

Tempat-tempat terlarang buang hajat adalah : Tempat sumber keluarnya air, tempat orang lewat, tempat orang berteduh, dan tempat air tergenang, dan lainnya.

Dalilnya,

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اتَّقُوا الْمَلَاعِنَ الثَّلَاثَةَ: الْبَرَازَ فِي الْمَوَارِدِ، وَقَارِعَةِ الطَّرِيقِ، وَالظِّلِّ

“Jagalah dirimu dari tiga tempat yang membawa laknat, buang hajat di tempat berkumpulnya air, di jalan raya, dan di tempat berteduh”. (Hr. Abu Dawud, no. 26).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اتَّقُوا اللَّعَّانَيْنِ. قَالُوا: وَمَا اللَّعَّانَانِ يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ: الَّذِى يَتَخَلَّى فِى طَرِيقِ النَّاسِ أَوْ فِى ظِلِّهِمْ

“Hati-hatilah dengan al la’anain (orang yang dilaknat oleh manusia)”. Para sahabat bertanya, “Siapa itu al la’anain (orang yang dilaknat oleh manusia), wahai Rasulullah ?”. Nabi bersabda, “Mereka adalah orang yang buang hajat di jalan dan tempat berteduhnya manusia”. (Hr. Muslim, no. 269).

Jabir bin ‘Abdillah berkata,

أَنَّهُ نَهَى أَنْ يُبَالَ فِى الْمَاءِ الرَّاكِدِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kencing di air tergenang”. (Hr. Muslim, no. 281).

Seorang ulama besar Syafi’iyah, Ar Rofi’i mengatakan, “Larangan di sini berlaku untuk air tergenang yang sedikit maupun banyak karena sama-sama dapat mencemari”. (Lihat Kifayatul Akhyar, Taqiyuddin Abu Bakr bin Muhammad Al Hushni Ad Dimasyqi, hal. 35, Darul Kutub Al Islamiyah, cetakan pertama, 1424 H).

Berdasarkan keterangan di atas, berarti terlarang kencing di waduk, kolam, dan bendungan karena dapat menimbulkan pencemaran dan dapat membawa dampak bahaya bagi yang lainnya. Jika kencing saja terlarang, lebih-lebih lagi buang air besar. Sedangkan jika airnya adalah air yang mengalir (bukan tergenang), maka tidak mengapa. Akan tetapi lebih baik tidak melakukannya karena seperti ini juga dapat mencemari dan menyakiti yang lain. (Lihat Taisirul ‘Alam, hal. 19).

2. Mencari tempat tertutup dan jauh dari keramaian

Apabila hendak buang hajat di tanah lapang, maka hendaknya mencari tempat yang tertutup atau tersembunyi dan jauh dari keramaian.

Abdurrahman bin Abi Quraad radhiyallahu 'anhu berkata,

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي قُرَادٍ قَالَ: خَرَجْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى الله عَلَيهِ وَسَلَّمَ إِلَى الْخَلَاءِ، وَكَانَ إِذَا أَرَادَ الْحَاجَةَ أَبْعَدَ

“Aku pernah keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menuju tempat buang air, dan kebiasaan Nabi jika hendak buang hajat beliau pergi ke tempat yang jauh”. (Hr. Nasai, no. 16).

Jabir radhiyallahu 'anhu berkata,

خَرَجْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْ سَفَرٍ، وَكَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَأْتِي الْبَرَازَ حَتَّى يَتَغَيَّبَ فَلاَ يَرَى

“Kami keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam satu perjalanan. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak buang hajat di lapangan terbuka melainkan bersembunyi hingga tidak terlihat”. (Sunan Ibni Majah, no. 268, Sunan Ibni Majah, I/121 no. 335, dan Sunan Abi Dawud, ‘Aunul Ma’buud, I/19 no. 2).

3. Tidak mengangkat pakaian atau memelorotkan celana sebelum sampai ke tempat buang hajat

Ibnu Umar radhiyallahu anhuma berkata,

أَنَّ النَّبِيَّ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - كَانَ إِذَا أَرَادَ الْحَاجَةَ لاَ يَرْفَعُ ثَوْبَهُ حَتَّى يَدْنُوَ مِنَ اْلأَرْضِ

“Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak buang hajat, Nabi tidak mengangkat pakaiannya kecuali setelah dekat dengan tanah”. (Shahiih al-Jaami’ush Shaghiir, no. 4652, Sunan Abi Dawud, I/31 no. 14, dan Sunan at-Tirmidzi, I/11 no. 14).

4. Membaca Basmalah dan Ta’awudz sebelum masuk jamban

Sebelum masuk ke kamar mandi disunnahkan membaca basmalah dan do'a meminta perlindungan kepada Allah, akan tetapi apabila di tanah lapang, maka membaca basmalah dan do'a meminta perlindungan kepada Allah, ketika akan memulai melepaskan pakaiannya. (Keterangan dari Syaikh Abu Malik dalam Shahih Fiqh Sunnah, 1/93).

Do'a meminta perlindungan kepada Allah ketika ke kamar mandi adalah,

اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْخُبُثِ وَالْخَبَائِثِ

Allahumma inni a'udzu bika minal khubutsi wal khobaits.

Artinya, "Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari setan laki-laki dan setan perempuan".

Dalilnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

سَتْرُ مَا بَيْنَ أَعْيُنِ الْجِنِّ وَعَوْرَاتِ بَنِى آدَمَ إِذَا دَخَلَ أَحَدُهُمُ الْخَلاَءَ أَنْ يَقُولَ بِسْمِ اللَّهِ

“Penghalang antara pandangan jin dan aurat manusia adalah jika salah seorang di antara mereka memasuki tempat buang hajat, lalu ia ucapkan “Bismillah”. (Hr. Tirmidzi, no. 606).

Anas bin Malik mengatakan,

كَانَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - إِذَا دَخَلَ الْخَلاَءَ قَالَ: اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْخُبُثِ وَالْخَبَائِثِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika memasuki jamban, beliau ucapkan, Allahumma inni a’udzu bika minal khubutsi wal khobaits (Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari setan laki-laki dan setan perempuan”. (Hr. Bukhari, no. 142, dan Muslim, no. 375).

Imam An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Adab membaca do'a semacam ini tidak dibedakan untuk di dalam maupun di luar bangunan”. (Al Minjah Syarh Shahih Muslim, 4/71).

Untuk do’a “Allahumma inni a’udzu bika minal khubutsi wal khobaits”, boleh juga dibaca Allahumma inni a’udzu bika minal khubtsi wal khobaits (denga ba’ yang disukun). Bahkan cara baca khubtsi (dengan ba’ disukun) itu lebih banyak di kalangan para ulama hadits sebagaimana dikatakan oleh Al Qodhi Iyadh rahimahullah. Sedangkan mengenai maknanya, ada ulama yang mengatakan bahwa makna khubtsi (dengan ba’ disukun) adalah gangguan setan, sedangkan khobaits adalah maksiat. (Al Minjah Syarh Shahih Muslim, 4/71).

Jadi, cara baca dengan khubtsi (dengan ba’ disukun) dan khobaits itu lebih luas maknanya dibanding dengan makna yang di awal tadi karena makna kedua berarti meminta perlindungan dari segala gangguan setan dan maksiat.

5. Dahulukan kaki kiri ketika masuk jamban, dan keluar dengan kaki kanan

Untuk perkara yang baik-baik seperti memakai sandal dan menyisir, disunnahkan untuk mendahulukan yang kanan.

Dalam sebuah hadits disebutkan,

كَانَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - يُعْجِبُهُ التَّيَمُّنُ فِى تَنَعُّلِهِ وَتَرَجُّلِهِ وَطُهُورِهِ وَفِى شَأْنِهِ كُلِّهِ

“Adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih suka mendahulukan yang kanan ketika memakai sandal, menyisir rambut, ketika bersuci dan dalam setiap  perkara (yang baik-baik)”. (Hr. Bukhari, no. 168, dan Muslim, no. 268).

Syaikh Ali Basam mengatakan, “Mendahulukan yang kanan untuk perkara yang baik, ini ditunjukkan oleh dalil syar’i, dalil logika dan didukung oleh fitrah yang baik. Sedangkan untuk perkara yang jelek, maka digunakan yang kiri. Hal inilah yang lebih pantas berdasarkan dalil syar’i dan logika”. (Lihat Taisirul ‘Alam, Syaikh Ali Basam, hal. 26, Darul Kutub Al ‘Ilmiyah, cetakan pertama, tahun 1424 H).

Berdasarkan hadits di atas, maka ketika hendak ke kamar mandi dahulukan kaki kanan, dan keluarnya dengan kaki kiri.

Imam asy-Syaukani rahimahullah mengatakan, “Adapun mendahulukan kaki kiri ketika masuk ke tempat buang hajat dan kaki kanan ketika keluar, maka itu memiliki alasan dari sisi bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih suka mendahulukan yang kanan untuk hal-hal yang baik-baik. Sedangkan untuk hal-hal yang jelek (kotor), beliau lebih suka mendahulukan yang kiri. Hal ini berdasarkan dalil yang sifatnya global”. (As Sailul Jaror, Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani, 1/64, Darul Kutub Al ‘Ilmiyah, cetakan pertama, tahun 1405 H).

6. Tidak membawa sesuatu yang disucikan

Membawa sesuatu yang disucikan misalnya, memakai cincin yang bertuliskan nama Allah, membawa lembaran yang terdapat ayat-ayat al-Qur'an, membawa buku pelajaran Islam, dan lainnya, maka hal ini terlarang karena kita diperintahkan untuk mengagungkan nama Allah.

Allah Ta’ala berfirman,

ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ

“Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati”. (Qs. Al Hajj: 32).

Ada sebuah riwayat dari Anas bin Malik, beliau mengatakan,

كَانَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - إِذَا دَخَلَ الْخَلاَءَ وَضَعَ خَاتَمَهُ

“Adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa ketika memasuki kamar mandi, Nabi meletakkan cincinnya”. (Hr. Abu Daud, no. 19, dan Ibnu Majah, no. 303. Abu Daud mengatakan bahwa hadits ini munkar. Syaikh Al Abani juga mengatakan bahwa hadits ini munkar).

Hadits ini adalah hadits munkar yang diingkari oleh banyak peneliti hadits. Akan tetapi memang benar cincin Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bertuliskan “Muhammad Rasulullah”. (Hr. Bukhari, no. 5872, dan Muslim, no. 2092).

Syaikh Abu Malik hafizhohullah mengatakan, “Jika cincin atau semacam itu dalam keadaan tertutup atau dimasukkan ke dalam saku atau tempat lainnya, maka boleh barang tersebut dibawa masuk ke kamar mandi. Imam Ahmad bin Hambal mengatakan, “Jika ia mau, ia boleh memasukkan barang tersebut dalam genggaman tangannya”. Sedangkan jika ia takut barang tersebut hilang karena diletakkan di luar, maka boleh masuk ke dalam kamar mandi dengan barang tersebut dengan alasan kondisi darurat”. (Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik, 1/92, Al Maktabah At Taufiqiyah).

Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah ditanya, Apa hukum memakai perhiasan atau baju yang tertulis nama Allah ?

Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjawab,

هذه السلسلة من الذهب التي فيها اسم الله أو فيها آية من القرآن ينبغي تركها؛ لأنه قد يدخل بها الخلاء، تركها أولى، وقد توضع في محل يمتهن، فالأولى بك أن تغيري هذه السلسلة بأن يزال منها ما فيها من أسماء الله حتى لا تمتهن…. وهكذا الثياب التي يكون فيها أسماء الله أو آيات لا يجوز لبسها؛ لأنها وسيلة إلى أن تمتهن أو يصيبها النجاسة من حيض أو غيره، أو تلقى فيطأ عليها الناس أو يجلس عليها الناس؛ فلهذا حرم لبسها وحرم جعلها وسائد أو بسط؛ لأن هذا يفضي إلى امتهانها بالقعود عليها والوطء عليها ونحو ذلك

“Perhiasan emas seperti ini yang ada nama Allah dan ayat Al-Quran lebih baik ditinggalkan (tidak dipakai) karena bisa jadi ia masuk kamar mandi. Tidak memakainya lebih baik. Terkadang juga diletakkan pada tempat yang diremehkan. Lebih baik engkau ubah perhiasan tersebut agar dihilangkan nama Allah agar tidak diremehkan … Begitu juga dengan baju yang di dalamnya terdapat nama-nama Allah atau ayat Al-Qur'an, maka tidak boleh memakainya. Hal tersebut bisa menjadi wasilah/penyebab diremehkan atau terkena najis seperti darah haid atau lainnya, atau diletakkan pada tempat yang bisa diinjak manusia atau diduduki oleh mereka. Oleh karena itu, haram memakai baju tersebut dan haram menjadikannya sebagai bantal atau alas. Hal tersebut akan menyebabkan nama-nama Allah atau ayat Al-Qur'an tersebut diremehkan dengan diduduki, diinjak, dan lain sebagainya”.

7. Tidak boleh menghadap Kiblat atau membelakanginya

Ketika buang hajat, dilarang menghadap Kiblat atau membelakanginya.

Abu Ayyub Al Anshori mengatakan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا أَتَيْتُمُ الْغَائِطَ فَلاَ تَسْتَقْبِلُوا الْقِبْلَةَ وَلاَ تَسْتَدْبِرُوهَا، وَلَكِنْ شَرِّقُوا أَوْ غَرِّبُوا. قَالَ أَبُو أَيُّوبَ فَقَدِمْنَا الشَّأْمَ فَوَجَدْنَا مَرَاحِيضَ بُنِيَتْ قِبَلَ الْقِبْلَةِ، فَنَنْحَرِفُ وَنَسْتَغْفِرُ اللَّهَ تَعَالَى

“Jika kalian mendatangi jamban, maka janganlah kalian menghadap kiblat dan membelakanginya. Akan tetapi, hadaplah ke arah timur atau barat”. Abu Ayyub mengatakan, “Dulu kami pernah tinggal di Syam. Kami mendapati jamban kami dibangun menghadap ke arah Kiblat. Kami pun mengubah arah tempat tersebut dan kami memohon ampun kepada Allah Ta’ala (bertobat)”. (Hr. Bukhari, no. 394, dan Muslim, no. 264).

Yang dimaksud dengan “hadaplah arah barat dan timur” adalah ketika kondisinya di Madinah. Namun kalau kita berada di Indonesia, maka berdasarkan hadits ini kita dilarang buang hajat dengan menghadap arah barat dan timur, dan diperintahkan menghadap ke utara atau selatan.

Namun apakah larangan menghadap Kiblat dan membelakanginya ketika buang hajat berlaku di dalam bangunan dan di luar bangunan ?. Jawaban yang lebih tepat, hal ini berlaku di dalam dan di luar bangunan berdasarkan keumuman hadits Abu Ayyub Al Anshori di atas. Pendapat ini dipilih oleh Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad, Ibnu Hazm, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/94), Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani (Lihat Ad Daroril Madhiyah Syarh Ad Duroril Bahiyah, Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani, hal. 36-38, Darul ‘Aqidah, cetakan pertama, tahun 1425 H), dan pendapat terakhir dari Syaikh Ali Basam (Lihat Taisirul ‘Alam, footnote, hal. 30-31. Sebelumnya beliau berpendapat bolehnya membelakangi kiblat jika berada di dalam bangunan. Kemudian beliau ralat setelah itu).

Adapun hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma yang mengatakan,

ارْتَقَيْتُ فَوْقَ ظَهْرِ بَيْتِ حَفْصَةَ لِبَعْضِ حَاجَتِى، فَرَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يَقْضِى حَاجَتَهُ مُسْتَدْبِرَ الْقِبْلَةِ مُسْتَقْبِلَ الشَّأْمِ

“Aku pernah menaiki rumah Hafshoh karena ada sebagian keperluanku. Dan aku melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam buang hajat dengan membelakangi kiblat dan menghadap Syam”. (Hr. Bukhari, no. 148, 3102, dan Muslim, no. 266).

Hadits ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam membelakangi kiblat ketika buang hajat. Maka mengenai hadits Ibnu Umar ini kita dapat memberikan jawaban sebagai berikut.

Pelarangan menghadap dan membelakangi kiblat lebih kita dahulukan daripada yang membolehkannya. Perkataan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang melarang menghadap dan membelakangi kiblat ketika buang hajat lebih didahulukan dari perbuatan beliau. Hadits Ibnu Umar tidaklah menasikh (menghapus) hadits Abu Ayyub Al Anshori karena apa yang dilihat oleh Ibnu ‘Umar hanyalah kebetulan saja dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memaksudkan adanya hukum baru dalam hal ini. (Lihat Ad Daroril Madhiyah, hal. 36-28, Taisir ‘Alam footnote pada hal. 30-31, dan Shahih Fiqh Sunnah, 1/94).

Kesimpulannya, pendapat yang lebih tepat dan lebih hati-hati adalah haram secara mutlak menghadap dan membelakangi Kiblat ketika buang hajat.

8. Menjaga pakaian dan badan dari najis

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

تَنَزَّهُوا مِنَ الْبَوْلِ فَإِنَّ عَامَّةَ عَذَابِ الْقَبْرِ مِنْهُ

“Bersihkanlah diri kalian dari air kencing. Karena sesungguhnya kebanyakan siksa kubur berasal darinya”. (Hr. Ad-Daruquthni dalam Sunannya, no. 459).

Air kencing manusia adalah  termasuk benda najis, maka badan, pakaian, atau tempat yang terkena air kencing harus dibersihkan. Jika tidak dibersihkan, maka itu bisa menjadi penyebab siksa kubur.

9. Dibolehkan kencing sambil berdiri, tapi duduk (jongkok) lebih utama

Hudzaifah radhiyallahu 'anhu berkata,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِنْتَهَى إِلَى سُبَاطَةِ قَوْمٍ فَبَالَ قَائِمًا، فَتَنَحَّيْتُ فَقَالَ: ادْنُهُ، فَدَنَوْتُ حَتَّى قُمْتُ عِنْدَ عَقِبَيْهِ، فَتَوَضَّأَ وَمَسَحَ عَلَى خُفَّيْهِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di tempat pembuangan sampah sebuah kaum lalu kencing sambil berdiri, dan aku pun menjauh. (setelah selesai) Nabi kemudian berkata, ‘Mendekatlah’. Lalu aku mendekat hingga aku berdiri dekat kaki beliau. Nabi kemudian berwudhu dan membasuh bagian atas kedua khuf (sepatu panjang) beliau”. (Muttafaq ‘alaihi).

10. Tidak boleh berbicara kecuali dibutuhkan

Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata,

أَنَّ رَجُلاً مَرَّ وَرَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يَبُولُ فَسَلَّمَ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِ

“Ada seseorang yang melewati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau sedang kencing. Ketika itu, orang tersebut mengucapkan salam, namun Nabi tidak membalasnya”. (Hr. Muslim, no. 370).

Syaikh Ali Basam mengatakan, “Diharamkan berbicara dengan orang lain ketika buang hajat karena perbuatan semacam ini adalah suatu yang hina, menunjukkan kurangnya rasa malu dan merendahkan murua’ah (harga diri)”. Kemudian Syaikh Ali Basam berdalil dengan hadits di atas. (Lihat Tawdhihul Ahkam min Bulughil Marom, Syaikh Ali Basam, 1/315, Darul Atsar, cetakan pertama, tahun 1425 H).

Syaikh Abu Malik mengatakan, “Sudah kita ketahui bahwa menjawab salam itu wajib. Ketika buang hajat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkannya, maka ini menunjukkan diharamkannya berbicara ketika itu, lebih-lebih lagi jika dalam pembicaraan itu mengandung dzikir pada Allah Ta’ala. Akan tetapi, jika seseorang berbicara karena ada suatu kebutuhan yang mesti dilakukan ketika itu, seperti menunjuki jalan pada orang (ketika ditanya saat itu, pen) atau ingin meminta air dan semacamnya, maka dibolehkan saat itu karena alasan darurat. Wallahu a’lam”. (Shahih Fiqh Sunnah, 1/95).

11. Tidak berlama-lama di kamar mandi

Dengan berbagai sebab, sebaiknya tidak berlama-lama di dalam kamar mandi.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ هَذِهِ الْحُشُوشَ مُحْتَضَرَةٌ، فَإِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَقُلْ: اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْخُبُثِ وَالْخَبَائِثِ

"Sesungguhnya tempat-tempat buang hajat ini dihadiri setan, maka jika salah seorang dari kalian hendak masuk kamar mandi, ucapkanlah "Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepadamu dari setan laki-laki dan setan perempuan". (Hr. Ahmad, dan Ibnu Majah).

12. Tidak boleh menyentuh kemaluan dan cebok dengan tangan kanan

Dilarang memegang kemaluan dan cebok dengan tangan kanan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَإِذَا أَتَى الْخَلاَءَ فَلاَ يَمَسَّ ذَكَرَهُ بِيَمِينِهِ، وَلاَ يَتَمَسَّحْ بِيَمِينِهِ

“Jika ia buang hajat, janganlah ia memegang kemaluannya dengan tangan kanannya. Jangan pula ia cebok dengan tangan kanannya”. (Hr. Bukhari, no. 153, dan Muslim, no. 267).

13. Istinja’ atau istijmar

Istinja' artinya membersihkan kotorang dengan air, adapun istijmar artinya membersihkan kotoran dengan batu.

Istinja’ dengan menggunakan air lebih utama daripada menggunakan batu sebagaimana menjadi pendapat Sufyan Ats Tsauri, Ibnul Mubarok, Imam Asy Syafi’i, Imam Ahmad dan Ishaq. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/88-89).

Istinja’ dengan air lebih utama daripada menggunakan batu, alasannya, dengan air tentu saja karena bisa lebih bersih.

Ibnu Qudamah mengatakan,

وإن أراد الاقتصار على أحدهما فالماء أفضل. لما روينا من الحديث. ولأنه يطهر المحل، ويزيل العين والأثر، وهو أبلغ في التنظيف

Jika seseorang hendak bersuci dengan salah satu saja, maka menggunakan air lebih afdhal. Berdasarkan hadis yang kami riwayatkan, juga karena bersuci dengan air itu lebih bisa membersihkan tempat keluarnya kotoran dan lebih bersih. (Al-Mughni, 1/173).

Akan tetapi ada juga sebagian ulama yang berpendapat bahwa bersuci dengan selain air (istijmar), lebih afdhal dari pada bersuci dengan air (istinja'). Karena orang yang bersuci dengan selain air, dia tidak bersentuhan langsung dengan najisnya. Berbeda ketika dia bersuci dengan air (istinja'), tangannya harus bersentuhan langsung dengan najisnya.

Istinja' dengan air dalilnya, hadits dari Anas bin Malik yang mengatakan,

كَانَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - إِذَا خَرَجَ لِحَاجَتِهِ أَجِىءُ أَنَا وَغُلاَمٌ مَعَنَا إِدَاوَةٌ مِنْ مَاءٍ. يَعْنِى يَسْتَنْجِى بِهِ

“Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar untuk buang hajat, aku dan anak sebaya denganku datang membawa seember air, lalu beliau beristinja’ dengannya”. (Hr. Bukhari, no. 150, dan Muslim, no. 271).

Dan dalil yang menunjukkan bolehnya istijmar dengan minimal tiga batu adalah hadits dari Jabir bin ‘Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا اسْتَجْمَرَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَجْمِرْ ثَلاَثاً

“Apabila salah seorang di antara kalian ingin istijmar (bersuci dengan batu), maka gunakanlah tiga batu”. (Hr. Ahmad, 3/400).

Apabila tidak menemukan batu untuk istijmar, maka bisa digantikan dengan benda lainnya, asalkan memenuhi tiga syarat : Pertama, benda tersebut suci. Kedua, bisa menghilangkan najis. Dan ketiga bukan barang berharga seperti uang atau makanan. (Lihat Kifayatul Akhyar, hal. 34).

Sehingga dari syarat-syarat yang disebutkan di atas, batu boleh digantikan dengan tisu basah atau kering, kain basah atau kering, kayu, daun, dan lainnya yang sifatnya bisa menyerap.

Dan tidak boleh istijmar dengan kotoran kering dan tulang.

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam ditanya mengapa dua benda itu tidak boleh digunakan untuk istijmar.

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menjawab,

هُمَا مِنْ طَعَامِ الجِنِّ

“Dua benda itu adalah makanan jin”. (Hr. Bukhari).

Istijmar tidak boleh kurang dari tiga batu, Salman al-Farisi radhiallahu ‘anhu berkata,

نَهَانَا أَنْ نَسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ لِغَائِطٍ، أَوْ بَوْلٍ، أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِالْيَمِينِ، أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِأَقَلَّ مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ، أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِرَجِيعٍ أَوْ بِعَظْمٍ

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita untuk menghadap kibat ketika buang air besar atau kecil, atau bersuci dengan dan tangan kanan, atau bersuci dengan kurang dari 3 batu, atau bersuci dengan kotoran kering atau tulang". (Hr. Muslim).

Dan apabila hendak lebih dari tiga, maka jumlahnya dibuat ganjil, seperti 5 atau 7, dan seterusnya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَمَنِ اسْتَجْمَرَ فَلْيُوتِر

“Siapa yang melakukan istijmar, hendaknya dia buat ganjil”. (Hr. Bukhari dan Muslim).

Ketika istijmar (bersuci dengan batu), sebagaimana istinja' (bersuci dengan air), tidak boleh memegang kemaluan dan membersihkan kotoran dengan tangan kanan.

14. Memerciki kemaluan dan pakaian

Setelah bersuci, disunnahkan memerciki kemaluan dan memerciki pakaian (celana/sarung) dan mengusapnya, supaya lebih yakin bersih dan menghilangkan perasaan was-was.

Ibnu ‘Abbas mengatakan,

أَنَّ النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم - تَوَضَّأَ مَرَّةً مَرَّةً وَنَضَحَ فَرْجَهُ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu dengan satu kali-satu kali membasuh, lalu setelah itu Nabi memerciki kemaluannya”. (Hr. Ad Darimi no. 711).

15. Tidak perlu was-was ketika sudah bersuci

Apabila kita sudah yakin telah bersuci, yakin telah membersihkan diri dari najis, yakini bahwa semua telah memenuhi syarat untuk ibadah, maka kita tidak perlu was-was. Karena keyakinan, tidak bisa mengalahkan yang meragukan.

Dalam salah satu kaidah fiqh dinyatakan,

اليقين لا يزول بالشك

“Yakin tidak bisa gugur dengan keraguan”.

16. Membaca do’a ketika keluar kamar mandi

Ketika keluar dari kamar mandi, jangan lupa berdo'a. Dan do'anya adalah,

"غُفْرَانَكَ"

"Ghufroonaka"

Artinya, "Ya Allah, aku memohon ampun pada-Mu".

Dalilnya, Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,

أَنَّ النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم - كَانَ إِذَا خَرَجَ مِنَ الْغَائِطِ قَالَ: غُفْرَانَكَ

“Sungguh, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa setelah beliau keluar kamar mandi, Nabi mengucapkan “Ghufronaka” (Ya Allah, aku memohon ampun pada-Mu)”. (Hr. Abu Daud, no. 30, At Tirmidzi, no. 7, Ibnu Majah, no. 300, Ad Darimi, no. 680).

Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah  menjelaskan, “Kenapa seseorang dianjurkan mengucapkan, “Ghufroonaka” selepas keluar dari kamar kecil, yaitu karena ketika itu ia dipermudah untuk mengeluarkan kotoran badan, maka ia pun ingat akan dosa-dosanya. Oleh karenanya, ia pun berdo'a pada Allah agar dihapuskan dosa-dosanya sebagaimana Allah mempermudah kotoran-kotoran badan tersebut keluar”. (Majmu’ Fatawa wa Rosail Al ‘Utsaimin, 11/107, Darul Wathon-Daruts Tsaroya, cetakan terakhir, 1413 H).

Itulah adab buang hajat yang harus diketahui oleh setiap kaum muslimin. Semoga bermanfaat.


Sumber tulisan :

https://rumaysho.com/1034-10-adab-ketika-buang-hajat.html

https://almanhaj.or.id/7568-tidak-membersihkan-diri-dari-air-kencing-sebab-siksa-kubur.html

https://almanhaj.or.id/795-adab-adab-buang-hajat.html

https://konsultasisyariah.com/24606-cara-bersuci-orang-lumpuh.html


______

Selasa, 09 Maret 2021

ADAB ISLAM KEPADA BINATANG

ADAB ISLAM KEPADA BINATANG

Islam mengajarkan umatnya untuk memiliki adab kepada semua makhluk Allah, termasuk juga kepada binatang.

Dan berikut ini adab Islam kepada binatang :

1. Berbuat baik kepada binatang dengan memberinya makan, minum, dan lainnya

Sebuah riwayat menyebutkan, Allah Ta'ala memberikan rahmat dan ampunan-Nya kepada orang yang telah berbuat baik kepada binatang.

Abu Hurairah radhiallahu 'anhu meriwayatkan, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

بَيْنَمَا رَجُلٌ يَمْشِي فَاشْتَدَّ عَلَيْهِ الْعَطْشُ فَنَزَلَ بِئْرًا فَشَرِبَ مِنْهَا

Ketika berjalan, seorang laki-laki mengalami kehausan yang sangat. Dia turun ke suatu sumur dan meminum darinya.

ثُمَّ خَرَجَ فَإِذَا هُوَ بِكَلْبٍ يَلْهَثُ يَأْكُلُ الثَّرَى مِنَ الْعَطْشِ

Ketika keluar (dari sumur), ia melihat seeokor anjing yang sedang kehausan sehingga menjulurkan lidahnya menjilat-jilat tanah yang basah.

فَقَالَ: لَقَدْ بَلَغَ هَذَا مِثْلُ الَّذِي بَلَغَ بِـي

Laki-laki itu berkata, “Sungguh, anjing ini telah tertimpa (dahaga) seperti yang telah menimpaku”.

فَمَلَأَ خُفَّهُ ثُمَّ أَمْسَكَهُ بِفِيهِ ثُمَّ رَقى فَسَقَى الْكَلْبَ

Ia (turun lagi ke sumur) untuk memenuhi sepatu kulitnya (dengan air) kemudian memegang sepatu itu dengan mulutnya, lalu naik dan memberi minum anjing tersebut.

 فَشَكَرَ اللهُ لَهُ فَغَفَرَ لَهُ

Maka Allah berterima kasih terhadap perbuatannya, dan memberikan ampunan kepadanya.

قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ لَنَـا فِي الْبَهَائِمِ أَجْرًا ؟

Para sahabat bertanya, “Wahai Rasullulah, apakah kita mendapat pahala (apabila berbuat baik) kepada binatang ?”

قَالَ: فِي كُلِّ كَبِدٍ رَطبَةٍ أَجْرٌ

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Pada setiap yang memiliki hati yang basah maka ada pahala (ketika berbuat baik kepadanya)”. (Hr. al-Bukhari, dan Muslim).

Berikut sebuah hadits yang menunjukkan harus memberi makan kepada hewan, sehingga bisa makan yang cukup.

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا سِرْتُمْ فِي أَرْضٍ خصْبَةٍ فَأَعْطُوا الدَّوَابَّ حَظَّهَا وَإِذَا سِرْتُمْ فَي أَرْضٍ مَجْدَبَةٍ فَانْجُوا عَلَيْهَا

“Apabila kalian melakukan perjalanan di tanah subur, berilah binatang (tunggangan) itu haknya (mendapatkan makan). Apabila kamu melakukan perjalanan di bumi yang tandus, percepatlah perjalanan”. (Hr. al-Bazzar, lihat ash-Shahihah, no. 1357).

Percepatlah perjalanan dalam hadits di atas maksudnya, supaya segera sampai di tujuan, dan binatang tunggangan bisa segera makan dan minum, sehingga tidak kelaparan dan kehausan.

2. Mengasihinya

Binatang sebagimana manusia, juga perlu dikasihani dan disayangi, tidak boleh berbuat dzalim atau menganiayanya.

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

مَنْ لَا يَرْحَمْ لَا يُرْحَمْ

“Orang yang tidak menyayangi, maka tidak disayangi (oleh Allah)”. (Hr. al-Bukhari, no. 6013).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

ارْحَمُوا مَنْ فِي الأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ

“Kasihanilah siapa yang ada di bumi ini, niscaya kalian dikasihani oleh yang ada di langit”. (Hr. At-Tirmdzi, 1924).

3. Tidak mengurungnya sehingga mati kelaparan

Mengurung binatang sehingga ia tidak bisa mencari makan termasuk kepada perbuatan dzalim, sehingga pelakunya akan mendapatkan adzab Allah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

عُذِّبَتِ امْرَأَةٌ فِي هِرَّةٍ سَجَنَتْهَا حَتَّى مَاتَتْ، فَدَخَلَتْ فِيْهَا النَّارَ، لَا هِيَ أَطْعَمَتْهَا وَسَقَتْهَا إِذْ حَبَسَتْهَا وَلَا هِيَ تَرَكَتْهَا تَأْكُلُ مِنْ خَشَاشِ الْأَرْضِ

“Seorang wanita disiksa karena kucing yang dikurungnya sampai mati. Dengan sebab itu dia masuk Neraka. Dia tidak memberinya makanan dan minuman ketika mengurungnya. Dia tidak pula melepasnya sehingga kucing itu bisa memakan serangga yang ada di bumi”. (Hr. al-Bukhari, dan Muslim).

4. Tidak boleh membunuhnya, kecuali untuk di makan

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengecam orang yang menjadikan binatang sebagai sasaran panah (bukan untuk dimakan).

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

لعن الله من اتخذ شيئا فيه روح غر ضا

“Allah mengutuk orang yang menjadikan sesutu yang bernyawa sebagai sasaran”. (Hr. Al-Bukhari, 5515, dan Muslim, 1958).

Maksud hadits ini adalah, tidak boleh menjadikan binatang sebagai sasaran tembak, atau panah hanya untuk melatih ketangkasan memanah atau menembak, bukan untuk memakannya.

Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma berkata,

إِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعَنَ مَنِ اتَّخَذَ شَيْئًا فِيهِ الرُّوحُ غَرَضًا

“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengutuk orang yang menjadikan sesuatu yang memiliki roh sebagai sasaran untuk dilempar (bukan untuk di makan)”. (Muttafaqun ‘alaih).

5. Tidak membuatnya bersedih

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Siapa yang telah menyakiti perasaan burung ini karena anaknya ?. Kembalikanlah kepadanya anak-anaknya”. Beliau mengatakan hal tersebut ketika melihat seekor burung berputar-putar mencari anak-anaknya yang diambil dari sarangnya oleh salah seorang sahabat”. (Hr. Abu Daud, 2675).

6. Tidak boleh membunuh binatang dengan cara membakarnya

Ketika Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berjalan melewati sarang semut yang dibakar, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

انه لاينبغى أن يعذ ب بالنار الا رب النار

“Sesungguhnya tidak ada yang berhak menyiksa dengan api selain Rabb (Tuhan) pemilik api”. (Hr. Abu Daud, 2675).

7. Tidak memeras tenaga binatang secara berlebihan

Abdullah bin Ja’far radhiallahu 'anhu berkata,

فَدَخَلَ حَائِطًا لِرَجُلٍ الْأَنْصَارِ فَإِذَا جَمَلٌ، فَلَمَّا رَأَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَنَّ وَذَرَفَتْ عَيْنَاهُ

Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah masuk ke salah satu kebun milik orang Anshar untuk suatu keperluan. Di sana ada seekor unta. Ketika unta itu melihat Nabi shallallahu alaihi wa sallam, ia bersuara dan berlinang air matanya.

فَأَتَاهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمَسَحَ ذِفْرَاهُ فَسَكَتَ

Nabi shallallahu alaihi wa sallam lalu mendatanginya dan mengusap bagian belakang kepalanya. Unta itu pun diam.

فَقَالَ: مَنْ رَبُّ هَذَا الْجَمَلِ، لِمَنْ هَذَا الْجَمَلُ؟

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bertanya, “Siapa tuan unta ini ?. Siapa pemilik unta ini ?”.

 فَجَاءَ فَتًى مِنَ الْأَنْصَارِ. فَقَالَ: لِي يَا رَسُولَ اللَّهِ

Datanglah (pemiliknya), seorang pemuda Anshar, kemudian berkata, "Milik aku ya Rasulullah".

فَقَالَ: أَفَلَا تَتَّقِي اللَّهَ فِي هَذِهِ الْبَهِيمَةِ الَّتِي مَلَّكَكَ اللَّهُ إِيَّاهَا؟، فَإِنَّهُ شَكَا إِلَيَّ أَنَّكَ تُجِيعُهُ وَتُدْئِبُهُ

Maka kemudian Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Tidakkah kamu takut kepada Allah saat (memperlakukan) binatang ini, padahal Allah menjadikanmu memilikinya ?!. Sesungguhnya unta ini mengeluh kepadaku bahwa  engkau membuatnya kelaparan, dan meletihkannya dengan banyak bekerja”.  (Hr. Abu Dawud, dan lainnya, Syaikh al-Albani menilainya sahih dalam ash-Shahihah, no. 20).

Ketika sahabat Umar bin al-Khaththab radhiallahu anhu mengetahui seseorang mengangkut barang menggunakan unta yang melebihi kemampuan binatang tersebut, Umar sebagai penguasa memukul orang tersebut sebagai bentuk hukuman. Umar bin al-Khaththab radhiallahu 'anhu  menegurnya dengan mengatakan, “Mengapa kamu mengangkut barang di atas untamu sesuatu yang dia tidak mampu ?”. (Atsar ini diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d).

Sahabat Abu Darda radhiallahu 'anhu punya unta yang dipanggil Dimun. Apabila ada orang yang akan meminjamnya, ia berpesan agar untanya tidak dibebani kecuali sekian dan sekian (yakni sebatas kemampuan unta). Sebab, unta itu tidak mampu membawa yang lebih dari itu. Ketika kematian datang menjemput Abu Darda radhiallahu 'anhu, beliau berkata, “Wahai Dimun, janganlah kamu mengadukanku besok (di hari kiamat) di sisi Rabbku. Aku tidaklah membebanimu kecuali apa yang kamu mampu”. (Lihat ash-Shahihah, 1/67-69).

8. Tidak boleh mengendarai binatang tunggangan dengan cara yang tidak baik

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

ارْكَبُوا هَذِهِ الدَّوَابَّ سَالِمَةً، وَايْتَدِعُوهَا سَالِمَةً

Naikilah binatang itu dalam keadaan baik. Biarkanlah ia dalam keadaan bagus". (Hr. Ahmad, dan lainnya. Disahihkan oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahihj al-Jami).

9. Tidak boleh duduk-duduk di atas punggung binatang tunggangan, tanpa diperlukan

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

 وَلَا تَتَّخِذُوهَا كَرَاسِيَّ

"Janganlah kamu jadikan binatang itu sebagai kursi (tempat duduk)". (Hr. Ahmad, dan lainnya. Disahihkan oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahihj al-Jami).

Imam Ibnu Muflih rahimahullah dalam kitabnya al-Adab asy-Syar’iyah (jilid 3) menyebutkan pembahasan tentang makruhnya berlama-lama memberdirikan binatang tunggangan dan binatang pengangkut barang melampaui kebutuhannya.

Maksudnya, janganlah salah seorang dari kalian duduk di atas punggung binatang tunggangan untuk berbincang-bincang bersama temannya dalam keadaan tunggangan itu berdiri, seperti kalian berbincang-bincang di atas kursi. Namun, larangan berlama-lama di atas punggung binatang ini adalah apabila tidak ada keperluan. Apabila diperlukan, seperti saat perang atau wukuf di Arafah ketika haji, tidak mengapa. (Faidhul Qadir, 1/611).

10. Tidak boleh memberi cap dengan besi panas pada wajah binatang

Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma meriwayatkan, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melewati seekor keledai yang dicap pada wajahnya. Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

لَعَنَ اللهُ الَّذِي وَسَمَهُ

“Allah melaknat orang yang memberinya cap”. (Hr. Muslim).

Namun, dibolehkan memberi cap pada binatang di selain wajahnya.

11. Hendaknya menajamkan pisau ketika akan menyembelih binatang

Apabila hendak menyembelih binatang, disunnahkan supaya menajamkan mata pisau, sehingga binatang yang disembelih bisa cepat mati dan tidak tersiksa.

Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda,

وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذِّبْحَةَ. وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ وَلْيُرِحْ ذَبِيْحَتَهُ

"Apabila kamu menyembelih, baguslah dalam cara menyembelih. Hendaklah salah seorang kalian menajamkan pisaunya dan menjadikan binatang sembelihan cepat mati”. (Hr. Muslim).

Selain diperintahkan untuk menajamkan mata pisau, juga dilarang mengasah mata pisau di depan binatang yang hendak disembelih.

Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah menegur orang yang melakukan demikian dengan sabdanya (yang artinya), “Mengapa kamu tidak mengasah sebelum ini ?!. Apakah kamu ingin membunuhnya dua kali ?!”. (Hr. ath-Thabarani dan al-Baihaqi. Syaikh al-Albani menilainya sahih dalam ash-Shahihah no. 24).

Mar’i al-Hanbali berkata, “Pemilik binatang wajib memberi makanan dan minumannya. Jika dia tidak mau memberinya, dipaksa (oleh penguasa) untuk memberinya. Apabila dia tetap menolak atau sudah tidak mampu lagi memberikan hak binatangnya, ia dipaksa untuk menjualnya, menyewakannya, atau menyembelihnya jika binatang tersebut termasuk yang halal dagingnya. Diharamkan baginya mengutuk binatang, membebaninya dengan sesuatu yang memberatkan, memerah susunya sampai memudaratkan anaknya, memukul dan memberi cap pada wajah. Diharamkan pula menyembelihnya apabila tidak untuk dimakan”.

Demikian, wallahu a'lam.


Sumber tulisan :

https://almanhaj.or.id/370-adab-terhadap-hewan.html

https://www.google.co.id/amp/s/asysyariah.com/menyayangi-binatang/%3famp


_________    

Senin, 08 Maret 2021

ADAB ISLAM KEPADA LAWAN BICARA

ADAB ISLAM KEPADA LAWAN BICARA

Manusia sebagai makhluk sosial tentunya tidak bisa lepas dari interaksi dengan sesamanya. Di antara interaksi manusia dengan sesama adalah terlibat obrolan.

Obrolan menjadi aktifitas yang tidak bisa ditinggalkan oleh manusia, dengan keluarga, teman, tetangga atau lainnya.

Islam sudah memberikan bimbingan lewat keteladanan yang dicontohkan oleh Rasullullah shallallahu 'alaihi wasallam, bagaimana seharusnya bersikap kepada lawan bicara dalam obrolan, yaitu tidak mengalihkan perhatian dari lawan bicara.

Berikut sikap Nabi shallallahu 'alaihi yang dituturkan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu,

إنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اتَّخَذَ خَاتَمًا فَلَبِسَهُ قَالَ: شَغَلَنِي هَذَا عَنْكُمْ مُنْذُ الْيَوْمَ إِلَيْهِ نَظْرَةٌ وَإِلَيْكُمْ نَظْرَةٌ ثُمَّ أَلْقَاهُ

“Sungguh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mempunyai sebuah cincin dan memakainya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Cincin ini telah menyibukkanku dari (memperhatikan) kalian sejak hari ini (aku memakainya), sesaat aku memandangnya dan sesaat aku melihat kalian”. Kemudian beliaupun melemparkan cincin tersebut”. (Hr. An Nasa’i: 5304).

Begitulah sikap mulia Rasullullah shallallahu 'alaihi wasallam kepada para Sahabatnya ketika sedang terlibat percakapan. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bahkan rela membuang cincin kesayangannya karena sudah membuatnya lalai kepada para Sahabatnya.

Keteladanan yang diberikan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam diikuti oleh para Shalafus Shalih, generasi terbaik umat.

Berikut ini adab para Salafus Shalih ketika mereka menghadapi lawan bicara.

‘Ataa’ bin Abi Rabah berkata,

إن الرجل ليحدِّثني بالحديث فأنصت له كأني لم أسمعه وقد سمعته قبل أن يولد

“Ada seorang laki-laki menceritakan sesuatu kepadaku, maka aku diam untuk benar-benar mendengarnya, seolah-olah aku tidak pernah mendengar cerita itu, padahal sungguh aku pernah mendengar cerita itu sebelum ia dilahirkan”. (Siyar A’laam An-Nubala 5/86).

Berikutnya tuntunan dari para Salaf, bagaimana seharusnya sikap kita kepada lawan bicara.

Imam Hasan Al-Bashri berkata,

إذا جالست فكن على أن تسمع أحرص منك على أن تقول، و تعلم حسن الاستماع كما تتعلم حسن القول، و لا تقطع على أحد حديثه

“Apabila engkau sedang duduk berbicara dengan orang lain, hendaknya engkau bersemangat mendengar melebihi semangat engkau berbicara. Belajarlah menjadi pendengar yang baik sebagaimana engkau belajar menjadi pembicara yang baik. Janganlah engkau memotong pembicaraan orang lain”. (Al-Muntaqa hal. 72).

Ibnu Abbas menjelasakan tiga sikap yang baik ketika berbicara.

Beliau berkata,

لجليسي عليَّ ثلاثٌ: أن أَرميه بطَرفي إذا أقبل و أن أُوِّسعَ له في الَمجلس إذا جلس، و أن أصغي إليه إذا تحدث

Teman dudukku (teman bicara) mempunyai tiga hak yang menjadi kewajibanku :

1. Aku arahkan pandanganku padanya jika berbicara.

2. Aku luaskan tempat duduknya jika ia akan duduk (mempersilahkan dan beri tempat yang nyaman).

3. Aku dengarkan seksama jika ia berbicara.

(‘Uyuunul Akhbaar 1/307).

Itulah keteladan yang ditunjukkan oleh Nabi dan para Salaf ketika menghadapi lawan bicara sebagai bentuk penghormatan dan memuliakannya.

Kalau kita perhatikan saat ini, sungguh akhlak yang mulia ini hampir hilang ditengah-tengah manusia. Bisa kita saksikan sa'at ini, banyak orang yang kurang menghormati lawan bicara, karena perhatian kepada telpon genggamnya, atau apa saja yang ada dihadapannya atau yang dipegangnya, padahal mereka sedang terlibat percakapan baik dengan teman, tetangga, anak istri, atau bahkan dengan tamunya yang seharusnya diperlakukan dengan hormat.

با رك الله فيكم

Penulis : Abu Meong.


Kunjungi blog pribadi di: https://agussantosa39.wordpress.com/category/01-islam-dakwah-tauhid/01-islam--sudah-sempurna

Kunjungi juga Channel Youtube Abu Meong di, https://m.youtube.com/channel/UCY84L0V-doictq9w3VxQpaw/videos


__


ADAB ISLAM KEPADA GURU

ADAB ISLAM KEPADA GURU

Guru adalah orang yang memiliki jasa terhadap anak didiknya. Tanpa seorang guru, tidak mungkin seorang murid bisa mengetahui dan memahami bidang ilmu pengetahuan yang harus dipelajari dan dipahaminya. Maka sudah sepantasnya apabila seorang murid memiliki adab kepada gurunya. Guru yang dimaksud dalam pembahasan disini adalah Ulama yang mengajarkan bidang ilmu agama. Akan tetapi secara umum, guru bidang ilmu apapun juga, selama ilmu yang diajarkannya medatangkan manfaat, maka tentu seorang murid harus punya adab. Dan Islam sebagai agama yang luhur memberikan tuntunan bagaimana seharusnya adab-adab yang harus dilakukan kepada gurunya.

Berikut ini di antara adab Islam yang harus dimiliki para penuntut ilmu terhadap guru :

1. Menghormatinya

Kita baca riwayat-riwayat Salafus Shalih, bagaimana mereka begitu hormat dan segan kepada guru mereka.

Umar bin Khattab berkata,

تواضعوا لمن تعلمون منه

“Tawadhulah kalian terhadap orang yang mengajari (guru) kalian”.

Abdurahman bin Harmalah Al Aslami berkata,

ما كان إنسان يجترئ على سعيد بن المسيب يسأله عن شيء حتى يستأذنه كما يستأذن الأمير

“Tidaklah sesorang berani bertanya kepada Said bin Musayyib, sampai dia meminta izin, layaknya meminta izin kepada seorang raja”.

Ar-Rabi’ bin Sulaiman berkata,

مَا وَاللَّهِ اجْتَرَأْتُ أَنْ أَشْرَبَ الْمَاءَ وَالشَّافِعِيُّ يَنْظُرُ إِلَيَّ هَيْبَةً لَهُ

“Demi Allah, aku tidak berani meminum air dalam keadaan Asy-Syafi’i melihatku karena segan kepadanya”.

Imam Syafi’i berkata,

كنت أصفح الورقة بين يدي مالك صفحًا رفيقًا هيبة له لئلا يسمع وقعها

“Dulu aku membolak balikkan kertas di depan Malik (guru Imam Syafi'i) dengan sangat pelan, karena segan kepadanya dan supaya dia tidak mendengarnya”.

Abu ‘Ubaid Al Qosim bin Salam berkata, “Aku tidak pernah sekalipun mengetuk pintu rumah seorang dari guruku, karena Allah berfirman,

وَلَوْ أَنَّهُمْ صَبَرُوا حَتَّى تَخْرُجَ إِلَيْهِمْ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Kalau sekiranya mereka sabar, sampai kamu keluar menemui mereka, itu lebih baik untuknya”. (Qs. Al Hujurat: 5).

Sungguh mulia akhlak mereka kepada guru-gurunya, sehingga tidak heran apabila mereka menjadi ulama-ulama besar, sungguh keberkahan ilmu mereka buah dari akhlak mulia terhadap para gurunya.

2. Duduk dengan baik di depan guru

Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah didalam kitabnya Hilyah Tolibil Ilm mengatakan, “Pakailah adab yang terbaik pada saat kau duduk bersama syaikh (guru)mu, pakailah cara yang baik dalam bertanya dan mendengarkannya”.

Syaikh Utsaimin mengomentari perkataan ini, “Duduklah dengan duduk yang beradab, tidak membentangkan kaki, juga tidak bersandar, apalagi saat berada didalam majelis".

Ibnul Jamaah mengatakan, “Seorang penuntut ilmu harus duduk rapi, tenang, tawadhu’, mata tertuju kepada guru, tidak membetangkan kaki, tidak bersandar, tidak pula bersandar dengan tangannya, tidak tertawa dengan keras, tidak duduk di tempat yang lebih tinggi juga tidak membelakangi guru”.

3. Berbicara dengan baik

Berbicara dengan baik diantaranya bicara dengan penuh hormat, tidak memotong pembicaraan guru dan tidak mengeraskan suara.

Imam Abu Hanifah jika berada didepan Imam Malik ia layaknya seorang anak dihadapan ayahnya.

Para Sahabat tidak pernah memotong ucapan Nabi atau mengeraskan suara dihadapan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, bahkan Umar bin khattab yang terkenal keras wataknya tidak pernah mengeraskan suaranya didepan Rasulullah, bahkan dibeberapa riwayat menyebutkan, bahwa Rasulullah sampai kesulitan mendengar suara Umar jika berbicara.

4. Tenang tidak gaduh ketika belajar

Kita perhatikan bagaimana para Sahabat bersikap kepada Rasullullah shallallahu 'alaihi wasallam sebagai Guru.

Abi Said al Khudry radhiallahu ‘anhu berkata,

كنا جلوساً في المسجد إذ خرج رسول الله فجلس إلينا فكأن على رؤوسنا الطير لا يتكلم أحد منا

“Saat kami sedang duduk-duduk di masjid, maka keluarlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian duduk dihadapan kami. Maka seakan-akan diatas kepala kami terdapat burung. Tak satu pun dari kami yang berbicara”. (Hr. Bukhari).

Diriwayatkan, Yahya bin Yahya Al Laitsi tidak beranjak dari tempat duduknya saat teman-temannya keluar (dari tempat belajar) untuk melihat rombongan gajah yang lewat ditengah pelajaran.

5. Bertanya dengan baik apabila perlu bertanya

Bertanya kepada orang yang memiliki pengetahuan diperintahkan dalam Islam.

Allah Ta’ala berfirman,

فَسْئَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَتَعْلَمُونَ

“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui”. (Qs. An Nahl: 43).

Bertanyalah kepada Guru dengan baik apabila diperlukan, dengan pertanyaan yang jelas, singkat dan tidak berbelit-belit, tidak mengeraskan suara juga tidak menanyakan sesuatu yang tidak dibutuhkan.

Kemudian do'akan guru tersebut setelah bertanya, seperti ucapan: Barakallahu fiik, atau Jazakallahu khoiron dan lain lain.

6. Memberi udzur terhadap kesalahannya

Seorang Guru bagaimanapun tinggi ilmunya, tetap saja dia adalah manusia biasa yang tidak akan luput dari perbuatan salah dan keliru.

Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,

كل ابن آدم خطاء و خير الخطائين التوابون

“Setiap anak Adam pasti berbuat kesalahan, dan yang terbaik dari mereka adalah yang suka bertaubat”. (Hr. Ahmad).

Dengan kesalahan yang dilakukan seorang guru, maka tidak perlu bagi seorang penuntut ilmu mencela terlebih lagi menggunjingnya, bahkan yang harus dilakukan adalah mendo'akannya.

Salafus Shalih berdo'a untuk guru mereka,

اللهم استر عيب شيخي عني ولا تذهب بركة علمه مني

“Ya Allah tutupilah aib guruku dariku, dan janganlah kau hilangkan keberkahan ilmunya dariku”.

Para salaf juga berkata,

لحوم العلماء مسمومة

“Daging para ulama itu mengandung racun”.

Syaikh Awad Ar-Ruasti Hafidzohullah menjelaskan tentang makna perkataan ini, “Siapa yang suka berbicara tentang aib para ulama, maka dia layaknya memakan daging para ulama yang mengandung racun, akan sakit hatinya, bahkan dapat mematikan hatinya”.

Bukan berarti juga harus membiarkan seorang guru terjerumus kedalam kesalahan, tentunya perlu mengingatkannya dengan adab yang baik.

7. Meneladani akhlak baiknya

Bagi seorang penuntut ilmu, merupakan suatu keharusan, selain menyerap ilmu dari gurunya, juga meneladani akhlak baiknya.

syaikh Ibnu Utsaimin berkata, “Jika gurumu itu sangat baik akhlaknya, jadikanlah dia qudwah atau contoh untukmu dalam berakhlak. Namun bila keadaan malah sebaliknya, maka jangan jadikan akhlak buruknya sebagai contoh untukmu, karena seorang guru dijadikan contoh dalam akhlak yang baik, bukan akhlak buruknya, karena tujuan seorang penuntut ilmu duduk di majelis seorang guru mengambil ilmunya kemudian akhlaknya”.

8. Bersabar

Imam Syafi rahimahullah mengatakan,

اصبر على مر من الجفا معلم. فإن رسوب العلم في نفراته

“Bersabarlah terhadap kerasnya sikap seorang guru. Sesungguhnya gagalnya mempelajari ilmu karena memusuhinya”.

9. Mendo'akannya

Banyak dari kalangan salaf berkata,

ما صليت إلا ودعيت لوالدي ولمشايخي جميعاً

“Tidaklah aku mengerjakan sholat kecuali aku pasti mendo'akan kedua orang tuaku dan guru-guruku semuanya”.

Itulah adab-adab yang harus diperhatikan seorang penuntut ilmu terhadap gurunya.

Selain memperhatikan adab, seorang penuntut ilmu juga tidak boleh bersikap yang berlebihan terhadap gurunya yang tidak dibenarkan oleh syari'at Islam, diantaranya :

● Selalu membenarkan perkataannya

Tidak dibenarkan bagi penuntut ilmu selalu membenarkan perkata'an atau pendapat gurunya, karena setinggi apapun ilmu yang dimiliki gurunya, tetap saja mereka adalah seorang manusia yang bisa salah dalam perkataannya.

Imam Ahmad berkata,

لَيْسَ أَحَدَ إِلَّا وَيُؤْخَذُ مِنْ رَايَةَ وَيُتْرَكُ، مَا خَلَا النَّبِيَّ

“Pendapat seseorang bisa diambil atau ditinggalkan selain Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam”.

● Tidak taklid buta

Taqlid adalah mengikuti perkata’an orang lain tanpa mengetahui (kebenaran) dalilnya. (Mudzakkirah Ushul Fiqh hal. 314).

Taklid adalah perilaku yang menjadikan banyak orang tersesat. Padahal para Ulama sudah mengingatkan untuk tidak taklid kepada siapapun.

Imam Syafi’i berkata,

ولا تقلد دينك فأنه لن يسلم عن يغلط

“Jangan taqlid dalam urusan agama kalian, karena siapapun yang kalian taqlidi, belum tentu selamat dari salah dan keliru”.

● Tidak ghuluw

Sikap ghuluw (melampaui batas atau berlebih-berlebihan) dalam agama adalah sikap yang tercela dan dilarang oleh syariat. Sikap ini tidak akan mendatangkan kebaikan bagi pelakunya, juga tidak akan membuahkan hasil yang baik dalam segala urusan, terlebih lagi dalam urusan agama.

Banyak dalil yang memperingatkan dan mengharamkan ghuluw atau sikap melampaui batas tersebut.

Rasullullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّينِ فَإِنَّهُ أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمُ الْغُلُوُّ فِي الدِّينِ

“Wahai sekalian manusia, jauhilah sikap ghuluw (melampaui batas) dalam agama. Sesungguhnya perkara yang membinasakan umat sebelum kalian adalah sikap ghuluw mereka dalam agama”.

Itulah beberapa adab dan sikap yang harus dimiliki oleh para penuntut ilmu terhadap Guru.

Semoga Allah menjaga kita dari akhlaq buruk kepada guru-guru kita, karena akhlaq buruk kepada guru akan menghilangkan keberkahan dari ilmu.

Syaikh Umar As-Sufyani Hafidzohullah mengatakan, “Jika seorang murid berakhlak buruk kepada gurunya maka akan menimbulkan dampak yang buruk pula, hilangnya berkah dari ilmu yang didapat, tidak dapat mengamalkan ilmunya, atau tidak dapat menyebarkan ilmunya. Itu semua contoh dari dampak buruk”.

Rasulullah shallallahu ’alaihi bersabda,

ليس منا من لم يجل كبيرنا و يرحم صغيرنا و يعرف لعالمنا حقه

“Tidak termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda serta yang tidak mengerti hak Ulama”. (Hr. Ahmad).

Tersirat dari sabda Nabi shallahu ‘alaihi wa salam, bahwa mereka para ulama wajib diperlakukan sesuai dengan haknya. Akhlak serta adab yang baik merupakan kewajiban yang tidak boleh dilupakan bagi seorang murid.

Wallahu a'lam.


Sebagian disunting dari: https://muslim.or.id/25497-adab-seorang-murid-terhadap-guru.html

Kunjungi juga Channel Youtube Abu Meong di, https://m.youtube.com/channel/UCY84L0V-doictq9w3VxQpaw/videos


__________