Pemahaman mereka terhadap atsar:
ما رءاه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن
“Apa saja yang dipandang baik menurut kaum muslimin, maka baik pula menurut pandangan Alloh”
BANTAHAN:
Pertama: Bahwasanya
tidak benar kalau atsar tersebut marfu’ sampai kepada Nabi صلى الله عليه
و سلم, itu hanyalah perkataan Abdullah bin Mas’ud رضي الله عنه yang
mauquf dari Ibnu Mas’ud saja.
Ibnul Qayyim berkata: “Sesungguhnya atsar
ini bukanlah dari sabda Rasulullah صلى الله عليه و سلم, hanya
orang-orang yang tidak memiliki ilmu pengetahuan tentang ilmu hadits
sajalah yang menyandarkan perkataan tersebut kepada beliau صلى الله عليه
و سلم. Atsar itu hanya merupakan perkataan Ibnu Mas’ud” [Al
Furuusiyyah, oleh Ibnul Qayyim, hal. 167]
Berkata Ibnu ‘Abdil Hadiy: “Perkataan
tersebut diriwayatkan secara marfu’ dari Anas dengan sanad yang sangat
lemah sakali, dan yang benar adalah bahwa atsar tersebut hanya mauquf
sampai pada Ibnu Mas’ud.” [Kasyful Khafaa’ oleh Al ‘Ajaluuny, (2/245)]
Az Zaila’iy berkata: “Atsar tersebut gharib marfu’, dan saya belum mendapatkan jalur riwayat kecuali secara mauquf dari Ibnu Mas’ud”. [Nashbur Raayah, (4/133)]
Berkata Al Albaniy: “Ia tidak punya dasar riwayat secara marfu’, riwayat itu hanyalah mauquf kepada Ibnu Mas’ud”. [As Silsilah Adh Dha’iifah, no. 533 (2/17)]
Saya katakan: Dan sebelum ini telah
diperingatkan bahwa tidak boleh sabda Rasulullah صلى الله عليه و سلم
dikonfrontasikan dengan perkataan seorang manusiapun, siapapun orangnya.
Kedua: Bahwasanay huruf “ال” pada perkataan “المسلمون” berfungsi sebagai Al ‘Ahd
(yang harus dikembalikan kepada sosok yang jelas), dan dalam hal ini
kembali kepada para Shahabat sendiri, merekalah yang dimaksud oleh atsar
tersebut sebagai “المسلمون” (kaum muslimin), sebagaimana yang bisa
difahami dari alur kalimat atsar tersebut, yang berbunyi:
إن الله نظر في قلوب العباد فوجد قلب محمد صلى الله عليه وسلم خير قلوب العباد فاصطفاه لنفسه فابتعثه برسالته ثم نظر في قلوب العباد بعد قلب محمد فوجد قلوب أصحابه خير قلوب العباد فجعلهم وزراء نبيه يقاتلون على دينه فما رأى المسلمون حسنا فهو عند الله حسن وما رأوا سيئا فهو عند الله سيءإن الله نظر في قلوب العباد فوجد قلب محمد صلى الله عليه وسلم خير قلوب العباد فاصطفاه لنفسه فابتعثه برسالته ثم نظر في قلوب العباد بعد قلب محمد فوجد قلوب أصحابه خير قلوب العباد فجعلهم وزراء نبيه يقاتلون على دينه فما رأى المسلمون حسنا فهو عند الله حسن وما رأوا سيئا فهو عند الله سيء
“Sesungguhnya Alloh memandang hati para
hambaNya lalu Dia dapati hati Muhammad صلى الله عليه و سلم sebagai hati
yang terbaik dari para hambaNya lalu beliau dipilihNya dan diutuslah
beliau sebagai RasulNya. Kemudian Alloh melihat hati hamba-hambaNya
setelah hati Muhammad صلى الله عليه و سلم lalu Alloh dapati hati para
Shahabat sebagai hati yang terbaik, maka mereka dijadikan sebagai
menteri-menteri NabiNya. Mereka berperang dan berjuang diatas agamaNya.
Maka apa saja yang dipandang baik menurut kaum muslimin (para shahabat
tersebut) maka baik pula menurut Alloh, dan apa saja yang buruk menurut
mereka maka buruk pula menurut Alloh”
Dalam riwayat lain ada tambahan:
و قد رءاى الصحابة جميعا أن يستخلفوا أبا بكر
“Dan seluruh Shahabat telah bersatu pendapat untuk mengangkat Abu Bakar sebagai Khalifah”.
Dengan demikian maka jelaslah bahwa yang dimaksud dengan “kaum muslimin” dalam atsar tersebut adalah para shahabat.
Dan diantara dalil yang menunjukkan hal
tersebut adalah bahwa para imam pengarang kitab-kitab hadits memuat
hadits (atsar tersebut) pada “Kitabus Shahabah”, sebagaimana yang
dilakukan oleh Al Hakim dalam kitab beliau “Al Mustadrak”. [Al
Mustadrak (3/78)]. Beliau telah memuat atsar tersebut dalam kitab
“Ma’rifatus Shahaabah”, dan beliau tidak mencantumkan redaksi awalnya
akan tetapi beliau memulai dari potongan atsar yang artinya : “Maka apa
saja yang dipandang baik… dst.”
Ini menunjukkan bahwasanya Abu Adillah Al
Hakim رحمه الله memahami bahwa yang dimaksud dengan “kaum muslimin”
pada atsar tersebut adalah para shahabat.
Kalau memang demikian, maka telah
diketahui secara pasti bahwa para shahabat seluruhnya telah bersepakat
mencela dan memandang buruk setiap “bid’ah”. Dan tidak pernah
diriwayatkan dari salah seorangpun dari mereka yang menganggap baik
salah satu dari bid’ah tersebut.
Ketiga: Berdasarkan perkataan bahwa huruf ال disini bukan Alif Lam al’ahd yakni kembali kepada sosok tertentu, akan berfungsi sebagai ‘istighraq’, yakni meliputi keseluruhan kaum muslimin, maka yang dimaksudkan adalah ijma’ (para ulama), dan ijma’ itu adalah hujjah.
Al ‘Izz bin Abdus Salam berkata: ‘Jika
hadits tersebut shahih, maka yang dimaksudkan dengan kata “المسلمون”
tersebut adalah ahlul ijma’. Wallohu a’lam. [Fatawa Al ‘izz bin Abdis
Salaam, hal. 42 no. 39]
Disini kami ajukan pertanyaan kepada orang yang berdalil dengan atsar tersebut bahwa ada yang dinamakan “bid’ah hasanah”: “Apakah anda dapat mendatangkan suatu bid’ah yang disepakati oleh kaum muslimin bahwa ia adalah bid’ah hasanah?”
Itu merupakan kemustahilan tanpa
diragukan lagi, sebab tidak ada satupun bid’ah yang telah disepakati
oleh kaum muslimin bahwa ia adalah bid’ah hasanah, bahkan ijma’ kaum
muslimin pada generasi awal menegaskan bahwa setiap bid’ah itu adalah
sesat, pendapat itu masih tetap demikian hingga saat ini. Walhamdu
lillah.
Keempat: Bagaimana
mereka berdalil dengan perkataan shahabat yang mulia ini tentang adanya
suatu bid’ah hasanah padahal beliau adalah salah seorang diantara para
shahabat yang paling tegas melarang dan memperingatkan tentang bid’ah.
Pada pembahasan sebelumnya telah kami nukilkan dari beliau ucapan beliau yang berbunyi:
إتبعوا و لا تبتدعوا فقد كفيتم و كل بدعة ضلالة
Ber-ittiba’lah kamu kepada Rasulullah
صلّى الله عليه و سلّم dan janganlah kamu ber-ibtida’ (mengada-ada tanpa
dalil), sesungguhnya kamu telah dicukupi dengan ittiba’ itu, dan setiap
bid’ah itu adalah kesesatan. [Dikeluarkan oleh Ibnu Biththah dalam al
Ibaanah, no. 175 (1/327-328) dan al Laalikaa’i, no. 104 (1/86).]
Dan perkataan beliau tentang larangan terhadap bid’ah sangat banyak sekali.
[Disalin dari buku "Mengapa Anda Menolak Bid'ah Hasanah?" penerbit Pustaka At-Tibyan]