SEDERHANA DLM SUNNAH LEBIH BAIK DARI PADA SEMANGAT TAPI SESAT

Kamis, 11 Maret 2021

ADAB ISLAM DALAM BUANG HAJAT

ADAB ISLAM DALAM BUANG HAJAT

Buang hajat sebagaimana aktifitas lainnya harus memperhatikan adab-adabnya, sehingga mendatangkan kebaikan dan tidak menimbulkan gangguan bagi orang lain.

Berikut adab buang hajat dalam Islam :

1. Tidak boleh buang hajat di tempat-tempat terlarang

Tempat-tempat terlarang buang hajat adalah : Tempat sumber keluarnya air, tempat orang lewat, tempat orang berteduh, dan tempat air tergenang, dan lainnya.

Dalilnya,

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اتَّقُوا الْمَلَاعِنَ الثَّلَاثَةَ: الْبَرَازَ فِي الْمَوَارِدِ، وَقَارِعَةِ الطَّرِيقِ، وَالظِّلِّ

“Jagalah dirimu dari tiga tempat yang membawa laknat, buang hajat di tempat berkumpulnya air, di jalan raya, dan di tempat berteduh”. (Hr. Abu Dawud, no. 26).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اتَّقُوا اللَّعَّانَيْنِ. قَالُوا: وَمَا اللَّعَّانَانِ يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ: الَّذِى يَتَخَلَّى فِى طَرِيقِ النَّاسِ أَوْ فِى ظِلِّهِمْ

“Hati-hatilah dengan al la’anain (orang yang dilaknat oleh manusia)”. Para sahabat bertanya, “Siapa itu al la’anain (orang yang dilaknat oleh manusia), wahai Rasulullah ?”. Nabi bersabda, “Mereka adalah orang yang buang hajat di jalan dan tempat berteduhnya manusia”. (Hr. Muslim, no. 269).

Jabir bin ‘Abdillah berkata,

أَنَّهُ نَهَى أَنْ يُبَالَ فِى الْمَاءِ الرَّاكِدِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kencing di air tergenang”. (Hr. Muslim, no. 281).

Seorang ulama besar Syafi’iyah, Ar Rofi’i mengatakan, “Larangan di sini berlaku untuk air tergenang yang sedikit maupun banyak karena sama-sama dapat mencemari”. (Lihat Kifayatul Akhyar, Taqiyuddin Abu Bakr bin Muhammad Al Hushni Ad Dimasyqi, hal. 35, Darul Kutub Al Islamiyah, cetakan pertama, 1424 H).

Berdasarkan keterangan di atas, berarti terlarang kencing di waduk, kolam, dan bendungan karena dapat menimbulkan pencemaran dan dapat membawa dampak bahaya bagi yang lainnya. Jika kencing saja terlarang, lebih-lebih lagi buang air besar. Sedangkan jika airnya adalah air yang mengalir (bukan tergenang), maka tidak mengapa. Akan tetapi lebih baik tidak melakukannya karena seperti ini juga dapat mencemari dan menyakiti yang lain. (Lihat Taisirul ‘Alam, hal. 19).

2. Mencari tempat tertutup dan jauh dari keramaian

Apabila hendak buang hajat di tanah lapang, maka hendaknya mencari tempat yang tertutup atau tersembunyi dan jauh dari keramaian.

Abdurrahman bin Abi Quraad radhiyallahu 'anhu berkata,

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي قُرَادٍ قَالَ: خَرَجْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى الله عَلَيهِ وَسَلَّمَ إِلَى الْخَلَاءِ، وَكَانَ إِذَا أَرَادَ الْحَاجَةَ أَبْعَدَ

“Aku pernah keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menuju tempat buang air, dan kebiasaan Nabi jika hendak buang hajat beliau pergi ke tempat yang jauh”. (Hr. Nasai, no. 16).

Jabir radhiyallahu 'anhu berkata,

خَرَجْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْ سَفَرٍ، وَكَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَأْتِي الْبَرَازَ حَتَّى يَتَغَيَّبَ فَلاَ يَرَى

“Kami keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam satu perjalanan. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak buang hajat di lapangan terbuka melainkan bersembunyi hingga tidak terlihat”. (Sunan Ibni Majah, no. 268, Sunan Ibni Majah, I/121 no. 335, dan Sunan Abi Dawud, ‘Aunul Ma’buud, I/19 no. 2).

3. Tidak mengangkat pakaian atau memelorotkan celana sebelum sampai ke tempat buang hajat

Ibnu Umar radhiyallahu anhuma berkata,

أَنَّ النَّبِيَّ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - كَانَ إِذَا أَرَادَ الْحَاجَةَ لاَ يَرْفَعُ ثَوْبَهُ حَتَّى يَدْنُوَ مِنَ اْلأَرْضِ

“Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak buang hajat, Nabi tidak mengangkat pakaiannya kecuali setelah dekat dengan tanah”. (Shahiih al-Jaami’ush Shaghiir, no. 4652, Sunan Abi Dawud, I/31 no. 14, dan Sunan at-Tirmidzi, I/11 no. 14).

4. Membaca Basmalah dan Ta’awudz sebelum masuk jamban

Sebelum masuk ke kamar mandi disunnahkan membaca basmalah dan do'a meminta perlindungan kepada Allah, akan tetapi apabila di tanah lapang, maka membaca basmalah dan do'a meminta perlindungan kepada Allah, ketika akan memulai melepaskan pakaiannya. (Keterangan dari Syaikh Abu Malik dalam Shahih Fiqh Sunnah, 1/93).

Do'a meminta perlindungan kepada Allah ketika ke kamar mandi adalah,

اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْخُبُثِ وَالْخَبَائِثِ

Allahumma inni a'udzu bika minal khubutsi wal khobaits.

Artinya, "Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari setan laki-laki dan setan perempuan".

Dalilnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

سَتْرُ مَا بَيْنَ أَعْيُنِ الْجِنِّ وَعَوْرَاتِ بَنِى آدَمَ إِذَا دَخَلَ أَحَدُهُمُ الْخَلاَءَ أَنْ يَقُولَ بِسْمِ اللَّهِ

“Penghalang antara pandangan jin dan aurat manusia adalah jika salah seorang di antara mereka memasuki tempat buang hajat, lalu ia ucapkan “Bismillah”. (Hr. Tirmidzi, no. 606).

Anas bin Malik mengatakan,

كَانَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - إِذَا دَخَلَ الْخَلاَءَ قَالَ: اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْخُبُثِ وَالْخَبَائِثِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika memasuki jamban, beliau ucapkan, Allahumma inni a’udzu bika minal khubutsi wal khobaits (Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari setan laki-laki dan setan perempuan”. (Hr. Bukhari, no. 142, dan Muslim, no. 375).

Imam An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Adab membaca do'a semacam ini tidak dibedakan untuk di dalam maupun di luar bangunan”. (Al Minjah Syarh Shahih Muslim, 4/71).

Untuk do’a “Allahumma inni a’udzu bika minal khubutsi wal khobaits”, boleh juga dibaca Allahumma inni a’udzu bika minal khubtsi wal khobaits (denga ba’ yang disukun). Bahkan cara baca khubtsi (dengan ba’ disukun) itu lebih banyak di kalangan para ulama hadits sebagaimana dikatakan oleh Al Qodhi Iyadh rahimahullah. Sedangkan mengenai maknanya, ada ulama yang mengatakan bahwa makna khubtsi (dengan ba’ disukun) adalah gangguan setan, sedangkan khobaits adalah maksiat. (Al Minjah Syarh Shahih Muslim, 4/71).

Jadi, cara baca dengan khubtsi (dengan ba’ disukun) dan khobaits itu lebih luas maknanya dibanding dengan makna yang di awal tadi karena makna kedua berarti meminta perlindungan dari segala gangguan setan dan maksiat.

5. Dahulukan kaki kiri ketika masuk jamban, dan keluar dengan kaki kanan

Untuk perkara yang baik-baik seperti memakai sandal dan menyisir, disunnahkan untuk mendahulukan yang kanan.

Dalam sebuah hadits disebutkan,

كَانَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - يُعْجِبُهُ التَّيَمُّنُ فِى تَنَعُّلِهِ وَتَرَجُّلِهِ وَطُهُورِهِ وَفِى شَأْنِهِ كُلِّهِ

“Adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih suka mendahulukan yang kanan ketika memakai sandal, menyisir rambut, ketika bersuci dan dalam setiap  perkara (yang baik-baik)”. (Hr. Bukhari, no. 168, dan Muslim, no. 268).

Syaikh Ali Basam mengatakan, “Mendahulukan yang kanan untuk perkara yang baik, ini ditunjukkan oleh dalil syar’i, dalil logika dan didukung oleh fitrah yang baik. Sedangkan untuk perkara yang jelek, maka digunakan yang kiri. Hal inilah yang lebih pantas berdasarkan dalil syar’i dan logika”. (Lihat Taisirul ‘Alam, Syaikh Ali Basam, hal. 26, Darul Kutub Al ‘Ilmiyah, cetakan pertama, tahun 1424 H).

Berdasarkan hadits di atas, maka ketika hendak ke kamar mandi dahulukan kaki kanan, dan keluarnya dengan kaki kiri.

Imam asy-Syaukani rahimahullah mengatakan, “Adapun mendahulukan kaki kiri ketika masuk ke tempat buang hajat dan kaki kanan ketika keluar, maka itu memiliki alasan dari sisi bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih suka mendahulukan yang kanan untuk hal-hal yang baik-baik. Sedangkan untuk hal-hal yang jelek (kotor), beliau lebih suka mendahulukan yang kiri. Hal ini berdasarkan dalil yang sifatnya global”. (As Sailul Jaror, Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani, 1/64, Darul Kutub Al ‘Ilmiyah, cetakan pertama, tahun 1405 H).

6. Tidak membawa sesuatu yang disucikan

Membawa sesuatu yang disucikan misalnya, memakai cincin yang bertuliskan nama Allah, membawa lembaran yang terdapat ayat-ayat al-Qur'an, membawa buku pelajaran Islam, dan lainnya, maka hal ini terlarang karena kita diperintahkan untuk mengagungkan nama Allah.

Allah Ta’ala berfirman,

ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ

“Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati”. (Qs. Al Hajj: 32).

Ada sebuah riwayat dari Anas bin Malik, beliau mengatakan,

كَانَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - إِذَا دَخَلَ الْخَلاَءَ وَضَعَ خَاتَمَهُ

“Adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa ketika memasuki kamar mandi, Nabi meletakkan cincinnya”. (Hr. Abu Daud, no. 19, dan Ibnu Majah, no. 303. Abu Daud mengatakan bahwa hadits ini munkar. Syaikh Al Abani juga mengatakan bahwa hadits ini munkar).

Hadits ini adalah hadits munkar yang diingkari oleh banyak peneliti hadits. Akan tetapi memang benar cincin Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bertuliskan “Muhammad Rasulullah”. (Hr. Bukhari, no. 5872, dan Muslim, no. 2092).

Syaikh Abu Malik hafizhohullah mengatakan, “Jika cincin atau semacam itu dalam keadaan tertutup atau dimasukkan ke dalam saku atau tempat lainnya, maka boleh barang tersebut dibawa masuk ke kamar mandi. Imam Ahmad bin Hambal mengatakan, “Jika ia mau, ia boleh memasukkan barang tersebut dalam genggaman tangannya”. Sedangkan jika ia takut barang tersebut hilang karena diletakkan di luar, maka boleh masuk ke dalam kamar mandi dengan barang tersebut dengan alasan kondisi darurat”. (Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik, 1/92, Al Maktabah At Taufiqiyah).

Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah ditanya, Apa hukum memakai perhiasan atau baju yang tertulis nama Allah ?

Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjawab,

هذه السلسلة من الذهب التي فيها اسم الله أو فيها آية من القرآن ينبغي تركها؛ لأنه قد يدخل بها الخلاء، تركها أولى، وقد توضع في محل يمتهن، فالأولى بك أن تغيري هذه السلسلة بأن يزال منها ما فيها من أسماء الله حتى لا تمتهن…. وهكذا الثياب التي يكون فيها أسماء الله أو آيات لا يجوز لبسها؛ لأنها وسيلة إلى أن تمتهن أو يصيبها النجاسة من حيض أو غيره، أو تلقى فيطأ عليها الناس أو يجلس عليها الناس؛ فلهذا حرم لبسها وحرم جعلها وسائد أو بسط؛ لأن هذا يفضي إلى امتهانها بالقعود عليها والوطء عليها ونحو ذلك

“Perhiasan emas seperti ini yang ada nama Allah dan ayat Al-Quran lebih baik ditinggalkan (tidak dipakai) karena bisa jadi ia masuk kamar mandi. Tidak memakainya lebih baik. Terkadang juga diletakkan pada tempat yang diremehkan. Lebih baik engkau ubah perhiasan tersebut agar dihilangkan nama Allah agar tidak diremehkan … Begitu juga dengan baju yang di dalamnya terdapat nama-nama Allah atau ayat Al-Qur'an, maka tidak boleh memakainya. Hal tersebut bisa menjadi wasilah/penyebab diremehkan atau terkena najis seperti darah haid atau lainnya, atau diletakkan pada tempat yang bisa diinjak manusia atau diduduki oleh mereka. Oleh karena itu, haram memakai baju tersebut dan haram menjadikannya sebagai bantal atau alas. Hal tersebut akan menyebabkan nama-nama Allah atau ayat Al-Qur'an tersebut diremehkan dengan diduduki, diinjak, dan lain sebagainya”.

7. Tidak boleh menghadap Kiblat atau membelakanginya

Ketika buang hajat, dilarang menghadap Kiblat atau membelakanginya.

Abu Ayyub Al Anshori mengatakan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا أَتَيْتُمُ الْغَائِطَ فَلاَ تَسْتَقْبِلُوا الْقِبْلَةَ وَلاَ تَسْتَدْبِرُوهَا، وَلَكِنْ شَرِّقُوا أَوْ غَرِّبُوا. قَالَ أَبُو أَيُّوبَ فَقَدِمْنَا الشَّأْمَ فَوَجَدْنَا مَرَاحِيضَ بُنِيَتْ قِبَلَ الْقِبْلَةِ، فَنَنْحَرِفُ وَنَسْتَغْفِرُ اللَّهَ تَعَالَى

“Jika kalian mendatangi jamban, maka janganlah kalian menghadap kiblat dan membelakanginya. Akan tetapi, hadaplah ke arah timur atau barat”. Abu Ayyub mengatakan, “Dulu kami pernah tinggal di Syam. Kami mendapati jamban kami dibangun menghadap ke arah Kiblat. Kami pun mengubah arah tempat tersebut dan kami memohon ampun kepada Allah Ta’ala (bertobat)”. (Hr. Bukhari, no. 394, dan Muslim, no. 264).

Yang dimaksud dengan “hadaplah arah barat dan timur” adalah ketika kondisinya di Madinah. Namun kalau kita berada di Indonesia, maka berdasarkan hadits ini kita dilarang buang hajat dengan menghadap arah barat dan timur, dan diperintahkan menghadap ke utara atau selatan.

Namun apakah larangan menghadap Kiblat dan membelakanginya ketika buang hajat berlaku di dalam bangunan dan di luar bangunan ?. Jawaban yang lebih tepat, hal ini berlaku di dalam dan di luar bangunan berdasarkan keumuman hadits Abu Ayyub Al Anshori di atas. Pendapat ini dipilih oleh Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad, Ibnu Hazm, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/94), Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani (Lihat Ad Daroril Madhiyah Syarh Ad Duroril Bahiyah, Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani, hal. 36-38, Darul ‘Aqidah, cetakan pertama, tahun 1425 H), dan pendapat terakhir dari Syaikh Ali Basam (Lihat Taisirul ‘Alam, footnote, hal. 30-31. Sebelumnya beliau berpendapat bolehnya membelakangi kiblat jika berada di dalam bangunan. Kemudian beliau ralat setelah itu).

Adapun hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma yang mengatakan,

ارْتَقَيْتُ فَوْقَ ظَهْرِ بَيْتِ حَفْصَةَ لِبَعْضِ حَاجَتِى، فَرَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يَقْضِى حَاجَتَهُ مُسْتَدْبِرَ الْقِبْلَةِ مُسْتَقْبِلَ الشَّأْمِ

“Aku pernah menaiki rumah Hafshoh karena ada sebagian keperluanku. Dan aku melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam buang hajat dengan membelakangi kiblat dan menghadap Syam”. (Hr. Bukhari, no. 148, 3102, dan Muslim, no. 266).

Hadits ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam membelakangi kiblat ketika buang hajat. Maka mengenai hadits Ibnu Umar ini kita dapat memberikan jawaban sebagai berikut.

Pelarangan menghadap dan membelakangi kiblat lebih kita dahulukan daripada yang membolehkannya. Perkataan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang melarang menghadap dan membelakangi kiblat ketika buang hajat lebih didahulukan dari perbuatan beliau. Hadits Ibnu Umar tidaklah menasikh (menghapus) hadits Abu Ayyub Al Anshori karena apa yang dilihat oleh Ibnu ‘Umar hanyalah kebetulan saja dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memaksudkan adanya hukum baru dalam hal ini. (Lihat Ad Daroril Madhiyah, hal. 36-28, Taisir ‘Alam footnote pada hal. 30-31, dan Shahih Fiqh Sunnah, 1/94).

Kesimpulannya, pendapat yang lebih tepat dan lebih hati-hati adalah haram secara mutlak menghadap dan membelakangi Kiblat ketika buang hajat.

8. Menjaga pakaian dan badan dari najis

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

تَنَزَّهُوا مِنَ الْبَوْلِ فَإِنَّ عَامَّةَ عَذَابِ الْقَبْرِ مِنْهُ

“Bersihkanlah diri kalian dari air kencing. Karena sesungguhnya kebanyakan siksa kubur berasal darinya”. (Hr. Ad-Daruquthni dalam Sunannya, no. 459).

Air kencing manusia adalah  termasuk benda najis, maka badan, pakaian, atau tempat yang terkena air kencing harus dibersihkan. Jika tidak dibersihkan, maka itu bisa menjadi penyebab siksa kubur.

9. Dibolehkan kencing sambil berdiri, tapi duduk (jongkok) lebih utama

Hudzaifah radhiyallahu 'anhu berkata,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِنْتَهَى إِلَى سُبَاطَةِ قَوْمٍ فَبَالَ قَائِمًا، فَتَنَحَّيْتُ فَقَالَ: ادْنُهُ، فَدَنَوْتُ حَتَّى قُمْتُ عِنْدَ عَقِبَيْهِ، فَتَوَضَّأَ وَمَسَحَ عَلَى خُفَّيْهِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di tempat pembuangan sampah sebuah kaum lalu kencing sambil berdiri, dan aku pun menjauh. (setelah selesai) Nabi kemudian berkata, ‘Mendekatlah’. Lalu aku mendekat hingga aku berdiri dekat kaki beliau. Nabi kemudian berwudhu dan membasuh bagian atas kedua khuf (sepatu panjang) beliau”. (Muttafaq ‘alaihi).

10. Tidak boleh berbicara kecuali dibutuhkan

Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata,

أَنَّ رَجُلاً مَرَّ وَرَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يَبُولُ فَسَلَّمَ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِ

“Ada seseorang yang melewati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau sedang kencing. Ketika itu, orang tersebut mengucapkan salam, namun Nabi tidak membalasnya”. (Hr. Muslim, no. 370).

Syaikh Ali Basam mengatakan, “Diharamkan berbicara dengan orang lain ketika buang hajat karena perbuatan semacam ini adalah suatu yang hina, menunjukkan kurangnya rasa malu dan merendahkan murua’ah (harga diri)”. Kemudian Syaikh Ali Basam berdalil dengan hadits di atas. (Lihat Tawdhihul Ahkam min Bulughil Marom, Syaikh Ali Basam, 1/315, Darul Atsar, cetakan pertama, tahun 1425 H).

Syaikh Abu Malik mengatakan, “Sudah kita ketahui bahwa menjawab salam itu wajib. Ketika buang hajat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkannya, maka ini menunjukkan diharamkannya berbicara ketika itu, lebih-lebih lagi jika dalam pembicaraan itu mengandung dzikir pada Allah Ta’ala. Akan tetapi, jika seseorang berbicara karena ada suatu kebutuhan yang mesti dilakukan ketika itu, seperti menunjuki jalan pada orang (ketika ditanya saat itu, pen) atau ingin meminta air dan semacamnya, maka dibolehkan saat itu karena alasan darurat. Wallahu a’lam”. (Shahih Fiqh Sunnah, 1/95).

11. Tidak berlama-lama di kamar mandi

Dengan berbagai sebab, sebaiknya tidak berlama-lama di dalam kamar mandi.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ هَذِهِ الْحُشُوشَ مُحْتَضَرَةٌ، فَإِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَقُلْ: اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْخُبُثِ وَالْخَبَائِثِ

"Sesungguhnya tempat-tempat buang hajat ini dihadiri setan, maka jika salah seorang dari kalian hendak masuk kamar mandi, ucapkanlah "Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepadamu dari setan laki-laki dan setan perempuan". (Hr. Ahmad, dan Ibnu Majah).

12. Tidak boleh menyentuh kemaluan dan cebok dengan tangan kanan

Dilarang memegang kemaluan dan cebok dengan tangan kanan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَإِذَا أَتَى الْخَلاَءَ فَلاَ يَمَسَّ ذَكَرَهُ بِيَمِينِهِ، وَلاَ يَتَمَسَّحْ بِيَمِينِهِ

“Jika ia buang hajat, janganlah ia memegang kemaluannya dengan tangan kanannya. Jangan pula ia cebok dengan tangan kanannya”. (Hr. Bukhari, no. 153, dan Muslim, no. 267).

13. Istinja’ atau istijmar

Istinja' artinya membersihkan kotorang dengan air, adapun istijmar artinya membersihkan kotoran dengan batu.

Istinja’ dengan menggunakan air lebih utama daripada menggunakan batu sebagaimana menjadi pendapat Sufyan Ats Tsauri, Ibnul Mubarok, Imam Asy Syafi’i, Imam Ahmad dan Ishaq. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/88-89).

Istinja’ dengan air lebih utama daripada menggunakan batu, alasannya, dengan air tentu saja karena bisa lebih bersih.

Ibnu Qudamah mengatakan,

وإن أراد الاقتصار على أحدهما فالماء أفضل. لما روينا من الحديث. ولأنه يطهر المحل، ويزيل العين والأثر، وهو أبلغ في التنظيف

Jika seseorang hendak bersuci dengan salah satu saja, maka menggunakan air lebih afdhal. Berdasarkan hadis yang kami riwayatkan, juga karena bersuci dengan air itu lebih bisa membersihkan tempat keluarnya kotoran dan lebih bersih. (Al-Mughni, 1/173).

Akan tetapi ada juga sebagian ulama yang berpendapat bahwa bersuci dengan selain air (istijmar), lebih afdhal dari pada bersuci dengan air (istinja'). Karena orang yang bersuci dengan selain air, dia tidak bersentuhan langsung dengan najisnya. Berbeda ketika dia bersuci dengan air (istinja'), tangannya harus bersentuhan langsung dengan najisnya.

Istinja' dengan air dalilnya, hadits dari Anas bin Malik yang mengatakan,

كَانَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - إِذَا خَرَجَ لِحَاجَتِهِ أَجِىءُ أَنَا وَغُلاَمٌ مَعَنَا إِدَاوَةٌ مِنْ مَاءٍ. يَعْنِى يَسْتَنْجِى بِهِ

“Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar untuk buang hajat, aku dan anak sebaya denganku datang membawa seember air, lalu beliau beristinja’ dengannya”. (Hr. Bukhari, no. 150, dan Muslim, no. 271).

Dan dalil yang menunjukkan bolehnya istijmar dengan minimal tiga batu adalah hadits dari Jabir bin ‘Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا اسْتَجْمَرَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَجْمِرْ ثَلاَثاً

“Apabila salah seorang di antara kalian ingin istijmar (bersuci dengan batu), maka gunakanlah tiga batu”. (Hr. Ahmad, 3/400).

Apabila tidak menemukan batu untuk istijmar, maka bisa digantikan dengan benda lainnya, asalkan memenuhi tiga syarat : Pertama, benda tersebut suci. Kedua, bisa menghilangkan najis. Dan ketiga bukan barang berharga seperti uang atau makanan. (Lihat Kifayatul Akhyar, hal. 34).

Sehingga dari syarat-syarat yang disebutkan di atas, batu boleh digantikan dengan tisu basah atau kering, kain basah atau kering, kayu, daun, dan lainnya yang sifatnya bisa menyerap.

Dan tidak boleh istijmar dengan kotoran kering dan tulang.

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam ditanya mengapa dua benda itu tidak boleh digunakan untuk istijmar.

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menjawab,

هُمَا مِنْ طَعَامِ الجِنِّ

“Dua benda itu adalah makanan jin”. (Hr. Bukhari).

Istijmar tidak boleh kurang dari tiga batu, Salman al-Farisi radhiallahu ‘anhu berkata,

نَهَانَا أَنْ نَسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ لِغَائِطٍ، أَوْ بَوْلٍ، أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِالْيَمِينِ، أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِأَقَلَّ مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ، أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِرَجِيعٍ أَوْ بِعَظْمٍ

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita untuk menghadap kibat ketika buang air besar atau kecil, atau bersuci dengan dan tangan kanan, atau bersuci dengan kurang dari 3 batu, atau bersuci dengan kotoran kering atau tulang". (Hr. Muslim).

Dan apabila hendak lebih dari tiga, maka jumlahnya dibuat ganjil, seperti 5 atau 7, dan seterusnya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَمَنِ اسْتَجْمَرَ فَلْيُوتِر

“Siapa yang melakukan istijmar, hendaknya dia buat ganjil”. (Hr. Bukhari dan Muslim).

Ketika istijmar (bersuci dengan batu), sebagaimana istinja' (bersuci dengan air), tidak boleh memegang kemaluan dan membersihkan kotoran dengan tangan kanan.

14. Memerciki kemaluan dan pakaian

Setelah bersuci, disunnahkan memerciki kemaluan dan memerciki pakaian (celana/sarung) dan mengusapnya, supaya lebih yakin bersih dan menghilangkan perasaan was-was.

Ibnu ‘Abbas mengatakan,

أَنَّ النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم - تَوَضَّأَ مَرَّةً مَرَّةً وَنَضَحَ فَرْجَهُ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu dengan satu kali-satu kali membasuh, lalu setelah itu Nabi memerciki kemaluannya”. (Hr. Ad Darimi no. 711).

15. Tidak perlu was-was ketika sudah bersuci

Apabila kita sudah yakin telah bersuci, yakin telah membersihkan diri dari najis, yakini bahwa semua telah memenuhi syarat untuk ibadah, maka kita tidak perlu was-was. Karena keyakinan, tidak bisa mengalahkan yang meragukan.

Dalam salah satu kaidah fiqh dinyatakan,

اليقين لا يزول بالشك

“Yakin tidak bisa gugur dengan keraguan”.

16. Membaca do’a ketika keluar kamar mandi

Ketika keluar dari kamar mandi, jangan lupa berdo'a. Dan do'anya adalah,

"غُفْرَانَكَ"

"Ghufroonaka"

Artinya, "Ya Allah, aku memohon ampun pada-Mu".

Dalilnya, Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,

أَنَّ النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم - كَانَ إِذَا خَرَجَ مِنَ الْغَائِطِ قَالَ: غُفْرَانَكَ

“Sungguh, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa setelah beliau keluar kamar mandi, Nabi mengucapkan “Ghufronaka” (Ya Allah, aku memohon ampun pada-Mu)”. (Hr. Abu Daud, no. 30, At Tirmidzi, no. 7, Ibnu Majah, no. 300, Ad Darimi, no. 680).

Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah  menjelaskan, “Kenapa seseorang dianjurkan mengucapkan, “Ghufroonaka” selepas keluar dari kamar kecil, yaitu karena ketika itu ia dipermudah untuk mengeluarkan kotoran badan, maka ia pun ingat akan dosa-dosanya. Oleh karenanya, ia pun berdo'a pada Allah agar dihapuskan dosa-dosanya sebagaimana Allah mempermudah kotoran-kotoran badan tersebut keluar”. (Majmu’ Fatawa wa Rosail Al ‘Utsaimin, 11/107, Darul Wathon-Daruts Tsaroya, cetakan terakhir, 1413 H).

Itulah adab buang hajat yang harus diketahui oleh setiap kaum muslimin. Semoga bermanfaat.


Sumber tulisan :

https://rumaysho.com/1034-10-adab-ketika-buang-hajat.html

https://almanhaj.or.id/7568-tidak-membersihkan-diri-dari-air-kencing-sebab-siksa-kubur.html

https://almanhaj.or.id/795-adab-adab-buang-hajat.html

https://konsultasisyariah.com/24606-cara-bersuci-orang-lumpuh.html


______

Tidak ada komentar:

Posting Komentar