SEDERHANA DLM SUNNAH LEBIH BAIK DARI PADA SEMANGAT TAPI SESAT

Senin, 08 Maret 2021

ADAB ISLAM DALAM MEMBERI

ADAB ISLAM DALAM MEMBERI

Memberi kebaikan kepada sesama manusia merupakan amalan yang mulia, karena merupakan manifestasi dari rasa cinta dan belas kasihan juga keimanan. Dan Allah Ta'ala akan membalasnya dengan pahala yang besar, walaupun nilai pemberiannya kecil. Memberikan kebaikan akan mewujudkan cinta kasih, saling menyayangi dan kerukunan antar sesama manusia.

Memberi kebaikan kepada orang lain bisa bermacam-macam bentuknya, bisa berupa sedekah, hibah, hadiah, dan lainnya. Dan perlu juga diperhatikan, jangan sampai pemberian atau bantuan yang diberikan tidak mendatangkan pahala, atau bahkan malah mendatangkan laknat Allah.

Berikut ini adab Islam yang perlu diketahui oleh orang yang memberikan kebaikan kepada orang lain :

1. Harus ikhlas karena Allah

Memberi kebaikan kepada manusia hendaknya benar-benar karena Allah, bukan karena tujuan lain, hal ini sebagaimana sifat dari kaum muslimin pada masa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, mereka berbuat kebaikan semata-mata hanya mengharapkan keridhoan Allah Ta'ala. Keikhlasan mereka terungkap dalam ucapan mereka yang Allah Ta'ala sebutkan dalam Firman-Nya,

إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لا نُرِيدُ مِنْكُمْ جَزَاءً وَلا شُكُورًا

"Sesungguhnya Kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhoan Allah, Kami tidak menghendaki Balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih". (Qs. Al-Insaan: 9).

Amal shalih yang tujuannya bukan karena Allah, maka tidak akan berpahala.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ لاَ يَقْبَلُ مِنَ الْعَمَل إِلاَّ مَا كَانَ لَهُ خَالِصًا وَابْتُغِيَ بِهِ وَجْهُهُ

"Sesungguhnya Allah tidak akan menerima dari semua jenis amalan kecuali yang murni untuk-Nya, dan untuk mencari wajah (keridhoan)-Nya. (Hr. an-Nasa’i, no: 3140).

Begitulah seharus ketika memberikan kebaikan kepada manusia, hanya berharap ridhonya Allah.

2. Tidak boleh mengharapkan pujian

Mengharapkan pujian ketika memberikan kebaikan termasuk kepada perbuatan riya.

Imam al-Qurthubi rahimahullah mengatakan, “Hakekat riya’ adalah mencari apa yang ada di dunia dengan ibadah, asalnya mencari kedudukan di hati manusia”. (Tafsir al-Qurthubi, 20/212).

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Riya’ adalah menampakkan ibadah karena niat dilihat manusia, lalu  mereka akan memuji pelaku ibadah tersebut”. (Fathul Bari 11/136).

Dan orang yang riya dalam beramal shalih, Allah Ta'ala memberikan perumpamaan sebagai berikut,

فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوانٍ عَلَيْهِ تُرابٌ فَأَصابَهُ وابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْداً

"Maka perumpamaannya (bagi orang yang riya) itu, seperti batu licin yang diatasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia (batu itu) bersih (tidak bertanah)". (Qs. Al-Baqoroh: 264).

Dengan kata lain, hujan yang lebat itu membuat batu licin yang dikenainya bersih dan licin, tidak ada sedikit tanah pun padanya, melainkan semuanya lenyap tak berbekas. Demikian pula halnya amal orang yang riya (pamer), pahalanya lenyap dan menyusut di sisi Allah, sekalipun orang yang bersangkutan menampakkan amal perbuatannya dimata orang banyak seperti tanah (karena banyaknya amal). (Tafsir Ibnu Katsir, Qs. al-Baqoroh: 264).

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Amalan seseorang yang berbuat riya’ (tidak ikhlas), itu adalah amalan batil yang tidak berpahala apa-apa, bahkan ia akan mendapatkan dosa”. (Syarh Shahih Muslim, 18: 115).

3. Tidak boleh menyebut-nyebut pemberian yang sudah diberikan

Diharamkan menyebut-nyebut pemberian yang sudah diberikan, karena perbuatan ini bisa menghilangkan pahala.

Allah Ta'ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُم بِالْمَنِّ وَالْأَذَىٰ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima)”. (Qs. Al-Baqarah: 264).

Allah Ta'ala memuji orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian tidak mengiringi kebaikan dan sedekah yang telah mereka infakkan dengan menyebut-nyebutnya kepada orang yang telah mereka beri. Dengan kata lain, mereka tidak menyebutkan amal infaknya itu kepada seorang pun dan tidak pula mengungkapkannya, baik dengan ucapan maupun dengan perbuatan. (Tafsir Ibnu Katsir, Qs. al-Baqoroh: 264).

Banyak hadis yang melarang menyebut-nyebut pemberian sedekah, diantaranya, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Tidak akan masuk Surga, (salah satunya) orang yang suka menyebut-nyebut pemberiannya".

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

ثَلَاثَةٌ لَا يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

"Ada tiga macam orang, Allah tidak mau melihat kepada mereka di hari kiamat".

وَالْمَنَّانُ بِمَا أَعْطَى

"(salah satunya) Orang yang suka menyebut-nyebut apa yang sudah diberikannya".

4. Tidak boleh memberi dengan harapan mendapatkan balasan yang lebih banyak

Tidak boleh memberi kebaikan kepada orang lain dengan maksud supaya mendapatkan balasan yang lebih banyak.

Allah Ta'ala berfirman,

وَلَا تَمْنُن تَسْتَكْثِرُ

"Dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak". (Qs. al-Muddatstsir: 6).

Dalam tafsir Ibnu Katsir disebutkan, Ibnu Abbas mengatakan, bahwa janganlah kamu memberikan suatu pemberian dengan maksud agar memperoleh balasan yang lebih banyak darinya. (Tafsir Ibnu Katsir, Qs. al-Muddatstsir: 6).

5. Tidak boleh meminta kembali pemberian yang sudah diberikan

Tidak halal memberikan sesuatu kepada seseorang, kemudian memintanya kembali. Dan Rasullullah shallallahu 'alaihi wasallam menyamakan orang yang meminta kembali sesuatu yang sudah diberikan dengan anjing yang menjilat kembali muntahannya. Naudzu billah.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

لَيْسَ لَنَا مَثَلُ السُّوءِ الْعَائِدُ فِي هِبَتِهِ كَالْكَلْبِ يَعُودُ فِي قَيْئِهِ

“Kami tidak memiliki contoh yang buruk, bagi orang yang meminta kembali pemberiannya seperti anjing yang menjilat muntahnya sendiri”. (Hr. Tirmidzi).

Ibnu Umar radhiyallah 'anhu berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

لا يحل لأحد أن يعطي عطية فيرجع فيها إلا الوالد فيما يعطي ولده صحيح

“Tidak halal bagi seseorang memberi suatu pemberian lalu ia memintanya kembali, kecuali orangtua, dia boleh meminta (mengambil) kembali apa yang telah diberikan kepada anaknya”. (Lihat Kitab Sunan Tirmidzi Juz 3 Halaman 592).

Itulah celaan dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kepada orang yang meminta kembali pemberiannya. 

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengatakan tidak halal, maka artinya haram. Yang maknanya Allah akan mengadzabnya di akhirat kelak, selain akan menghinakannya di dunia.

Itulah adab Islam yang harus diketahui oleh orang yang memberi kebaikan kepada sesamanya.

Wallahu a'lam

Penulis : Abu Meong


Kunjungi blog pribadi di : https://agussantosa39.wordpress.com/category/01-islam-dakwah-tauhid/01-islam-sudah-sempurna

Kunjungi juga Channel Youtube Abu Meong di, https://m.youtube.com/channel/UCY84L0V-doictq9w3VxQpaw/videos

_________

Tidak ada komentar:

Posting Komentar